undang-undang yang digunakan dalam kasus dago elos apa saja

undang-undang yang digunakan dalam kasus dago elos apa saja

Kasus sengketa lahan Dago Elos melibatkan beberapa peraturan perundang-undangan utama, baik dalam ranah hukum perdata maupun hukum pidana, serta peraturan spesifik terkait pertanahan di Indonesia. 
Undang-undang dan peraturan yang digunakan atau relevan dalam kasus Dago Elos meliputi:
1. Hukum Pertanahan
Kepres RI nomor 32 tahun 1979 jo peraturan Mendagri no 3 tahun 1979 ( digunakan para penggugat berdasarkan surat yang dikirimnya 05 agustus 2016 penjelasan Kepala Bpn tanggal 24 oktober 2016 nomor 1683/5.32.73/X/2016 ) hal 32 , 
hal 34 Ev 3740 , 3741 , 3742 , 6467 dan 11882 an george Hendrik Muller .
pasal 1365 kitab undang undang hukum perdata
Pasal 1365 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan melawan hukum, yang menyatakan bahwa "Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut". hal 35 
Jaringan mafia Tanah tingkat Nasional 
Eigendom Verponding No. 11882 Meetbrief No. 00097/1949 atasnama Njimas Entjeh alias OSAH ( hal 34 ) 
hal 34 Ev 3740 , 3741 , 3742 , 6467 dan 11882 an george Hendrik Muller .

  • Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA): Ini adalah landasan utama hukum pertanahan di Indonesia. UUPA menegaskan bahwa hak atas tanah berdasarkan hukum kolonial Belanda, seperti Eigendom Verponding, wajib dikonversi menjadi hak milik sesuai hukum agraria nasional paling lambat pada 24 Desember 1980. Pihak warga berargumen bahwa hak milik keluarga Muller telah berakhir karena tidak dikonversi tepat waktu.
  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: Peraturan ini, khususnya Pasal 32 ayat (2), mengatur tentang jangka waktu pengajuan keberatan atas sertifikat tanah yang telah diterbitkan.
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/Kepala BPN) Nomor 11 Tahun 2016 (dan yang terbaru Nomor 21 Tahun 2020): Peraturan ini mengatur tentang tata cara penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan secara administratif di BPN. 
2. Hukum Perdata
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata): Ketentuan terkait perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) sering digunakan dalam gugatan perdata terkait sengketa kepemilikan atau penguasaan tanah. 
3. Hukum Pidana
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Dalam perkembangan kasusnya, terdapat aspek pidana di mana keluarga Muller ditetapkan sebagai tersangka (dan divonis) atas dugaan pemalsuan surat atau pemberian keterangan palsu terkait kepemilikan lahan. Pasal yang relevan adalah Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah dan pasal-pasal terkait pemalsuan dokumen. 
4. Hukum Acara
  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Undang-undang ini, khususnya Pasal 5 ayat (1), mengamanatkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup di masyarakat dalam memutus perkara.
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: Mengatur proses peradilan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK). 
Kasus ini menyoroti kompleksitas penerapan hukum pertanahan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan transisi dari hukum kolonial (Eigendom Verponding) ke UUPA, serta melibatkan proses perdata (sengketa kepemilikan) dan pidana (pemalsuan dokumen). 
Kasus Dago Elos merupakan sengketa kepemilikan tanah yang kompleks antara warga Dago Elos dan pihak dari keluarga Muller beserta PT Dago Inti Graha. Berdasarkan analisis yuridis dan laporan media, beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penanganan dan pengambilan keputusan kasus ini meliputi:
  1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor Tahun 1960
    • UUPA menjadi landasan hukum utama dalam sengketa tanah di Indonesia.
    • Dalam konteks Dago Elos, UUPA mengatur konversi hak tanah lama dari masa kolonial (Eigendom Verponding) menjadi hak milik baru. Pasal yang relevan termasuk:
      • Pasal ayat 1: menyatakan prinsip dasar kepemilikan tanah di Indonesia.
      • Pasal 19 ayat huruf c: sertifikat tanah sebagai alat bukti yang kuat.
      • Pasal 27, 34, 40: menyebutkan hapusnya hak atas tanah akibat ditelantarkan.
    • Eigendom Verponding yang dimiliki keluarga Muller harus dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya 24 September 1980namun tidak dilakukan sehingga tanah dianggap milik negara dari sisi hukum UUPA.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
    • Menjadi dasar konstitusional untuk prinsip keadilan serta hak warga negara atas tanah.
    • Sila kelima Pancasila menyiratkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesiarelevan dalam menilai keabsahan putusan pengadilan.
  3. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak Barat
    • Mengatur pemberian hak baru bagi tanah asal hak kolonial yang gagal dikonversi tepat waktu.
    • Keputusan ini digunakan untuk memutuskan apakah keluarga Muller berhak menerima hak baru atau tidak.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
    • Menetapkan prosedur pendaftaran tanah dan penggunaan sertifikat sebagai alat pembuktian hak milik.
    • Menegaskan bahwa eigendom verponding yang sudah tidak dikonversi perlu diverifikasi oleh Panitia Ajudikasi sebelum menjadi dasar kepemilikan.
  5. Hukum Kolonial Belanda (Eigendom Verponding Staatsblad 1834 Nomor 27)
    • Digunakan oleh pihak Muller sebagai dasar klaim awal tanah.
    • Sifatnya lemah karena telah dicabut oleh UUPA; pengadilan harus menyesuaikan dengan hukum nasional yang berlaku sejak 1960.

Catatan Tambahan:

  • Kasus ini awalnya digugat sebagai perdata namun menurut beberapa analisis, ada indikasi unsur pidana terkait manipulasi dokumen dan kolusi oleh pihak-pihak tertentu.
  • Penindingan sengketa menggunakan Undang-Undang Agraria dan konstitusi menjadi rumit karena adanya tumpang tindih antara hukum kolonial dan hukum nasional.
  • Putusan Mahkamah Agung PK nomor 109/PK/Pdt/2022 menggunakan dasar hukum di atas namun menimbulkan kontroversi terkait keadilan substantif bagi warga Dago Elos.

Kesimpulan

Peraturan utama yang dijadikan acuan dalam kasus Dago Elos adalah:
  1. UUPA No. Tahun 1960 (Hak atas tanah dan konversi hak lama).
  2. UUD 1945 (Prinsip keadilan sosial dan hak warga negara).
  3. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 (Pemberian hak baru atas tanah asal hak kolonial).
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Pendaftaran tanah dan alat bukti sertifikat).
  5. Eigendom Verponding hukum kolonial Belanda (sebagai bukti klaim lama, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum penuh di bawah UUPA).
Dengan demikian, sengketa Dago Elos memadukan Hukum Agraria Nasional dan aspek sejarah kolonial dalam proses pengambilan keputusan hukum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Isi

Analisa Modus Mafia Tanah Saling Gugat

modus mafia tanah dengan apa ... siapa ...