Kepada Yth Panglima Perang Tertinggi Republik Indonesia

 Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

·         Nama: Muhammad Basuki Yaman

·         Tempat/Tanggal Lahir: Lamongan 23 juni 1976

·         Agama: Islam

·         Warganegara: Republik Indonesia No KTP : 3273022306760011

·         Pekerjaan: Wiraswasta

·         Alamat:  Cirapuhan no 27 rt 07 rw 01 Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Kodya Bandung

Bertindak untuk diri sendiri berdasarkan surat ini selanjutnya disebut sebagai pelapor dan atau pengaduan terkait adanya dugaan tindak pidana. 

Bahwa Pada sekitar tahun 1900 ada dugaan terjadi tindak pidana 

Bahwa ada kolonial yang melakukan penggusuran terhadap Bangsa Pribumi Nusantara 

Bahwa kolonial tersebut di duga kuat ber kolusi dengan oknum Kerajaan Belanda dan atau ber kolusi dengan Tentara Belanda yang di sebut KNIL 

Bahwa pada awalnya ada masyarakat pribumi salah satunya bernama Nawisan yang menduduki wilayah di Kota Besar Bandung ( Saat ini sekitar PMI jawa Barat hingga ke seberang jalan Kantor BRI dago Pakar ) 

Bahwa nawisan dan atau bersama bapak nya dan atau saudara nya dan atau pribumi lainnya telah ikut serta 

proyek Rel Kereta tahun 1880 an 

Proyek gua Belanda tahun 1910 an

Proyek jalan dago weg alias dago straat dan atau jalan Dago tahun 1920

proyek pembangkit Listrik Tenaga Air ( PLTA ) dago Bengkok tahun 1920 an 

Bahwa kemudian diduga kuat kolonial tersebut ber kolusi menerbitkan Alas hak barat Eigendome verponding nomor 3740 dan 3741 seluas sekitar 1,9 hektar ( saat ini identik dengan dago elos rw 02 

Bahwa kemudian diduga kuat kolonial tersebut ber kolusi menerbitkan Alas hak barat Eigendome verponding nomor 3742 dan 6467 seluas sekitar 5 hektar ( saat ini identik dengan kampung cirapuhan rw 01 ) 

Bahwa riwayat singkat Kampung Cirapuhan adalah sebagai berikut

Asal Usul Nama

  • Nama "Cirapuhan" berasal dari istilah Sunda "Cipanyeupuhan"yang merujuk pada tempat menempaan besi atau tempat pertanian.
  • Kata "Ci" mengacu pada air atau sungai; mengacu pada Sungai Cikapundung dan mata air lainnya seperti Cicau.
  •  Sejarah Masyarakat dan Pekerjaan

    • Kampung Cirapuhan telah ada sejak zaman Belanda (1800-an). Penduduk awal berupa petani dan ahli besi.
    • Beberapa keluarga adat, seperti Nawisanberkontribusi dalam pembangunan rel kereta pada 1880-an.
    • Pekerjaan tradisional termasuk berkebun, bertani, dan usaha gula; keahlian besi tetap menjadi ciri masyarakat.
    • Lokasi dan Batas Wilayah

      • Kampung Cirapuhan terbagi menjadi dua bagian:
        • Bagian BaratRW 01, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.
        • Bagian TimurDesa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
      • RW 01 Kelurahan Dago berbatasan dengan sungai dan wilayah Kabupaten Bandung Barat. Basuki Yaman menyebut wilayah ini sebagai "Segitiga Emas di Jawa Barat".

      Peran Militer Kolonial

      • Pada awal abad 20-an, lokasi sekitar Bandung dan Cimahi dimanfaatkan sebagai pusat militer Belanda (KNIL), termasuk pembangunan gua Belanda yang melibatkan warga setempat.
      • Kesimpulan

        Menurut Muhammad Basuki Yaman:
        • Kampung Cirapuhan memiliki nilai sejarah tinggi dan merupakan lingkungan dengan masyarakat adat yang kuat.
        • Konflik yang terjadi sebagian besar terkait penyerobotan hak atas tanah melalui perubahan nama wilayah dan dokumen kolonial.
        • Kawasan ini memiliki relevansi strategis dari sisi sosial, budaya, dan hukum agraria di Bandung dan sekitarnya, sehingga disebut sebagai "Segitiga Emas".
        • Konflik Agraria dan Sengketa Tanah

          • Inti konflik landreform Dago Elos berkaitan dengan kolusi, pengubahan nama lokasi, dan klaim Eigendome Verponding.
          • Kampung Cirapuhan RW 01 sering diklaim sebagai bagian dari RW 02 atau Dago Elos, padahal secara historis tidak termasuk wilayah itu.
          • Konflik termasuk sengketa hak tanah yang melibatkan keluarga adat, pihak kolonial, serta yayasan modern (misalnya Yayasan Ema alias Ny Nini Karim).

          Eigendome Verponding

          • Dokumen kepemilikan tanah kolonial Belanda yang menjadi bukti hukum milik tanah.
          • Nomor tanah terkait Kampung Cirapuhan antara lain 3740, 3741, 3742, dan 6467.
          • Muhammad Basuki Yaman menekankan bahwa beberapa klaim modern tidak sah karena bertentangan dengan catatan sejarah dan adanya makam serta masyarakat adat di lokasi tersebut.
          • Muhammad Basuki Yaman, keluarga Nawisan merupakan bagian dari masyarakat adat Kampung Cirapuhan, Bandung, yang tercatat sejak sekitar tahun 1850–1870. Berikut beberapa informasi spesifik mengenai struktur keluarga Nawisan menurut Muhammad Basuki Yaman:
            1. Anak-anak Nawisan:
              • Okoh (alias Oko)
              • Emeh
              • Eyong
              • Iwung (alias Ewung)
            2. Menantu dari anak-anak Nawisan:
              • Hasyim (alias Hasim) menikah dengan Okoh.
              • Mardasik menikah dengan Eyong.
              • Adikarta menikah dengan Emeh.
              • Mita (alias Karmita) menikah dengan Ewung.
            Keluarga Nawisan diketahui terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat dan pembangunan lokal, termasuk membantu pembangunan rel kereta api pada zaman kolonial Belanda, serta memiliki keahlian dalam pertanian, berkebun, dan pengolahan besi. Keturunan Nawisan masih tercatat berada di wilayah Gang Sawargi RT 03 RW 01 Dago dan sekitarnya. Data ini berasal dari penelitian lapangan dan kajian sejarah yang dilakukan oleh Muhammad Basuki Yaman di Kampung Cirapuhan.
            Dengan demikian, gambaran keluarga Nawisan menurut Muhammad Basuki Yaman adalah sebuah keluarga adat dengan beberapa anak dan menantu yang berperan serta dalam kehidupan sosial-ekonomi Kampung Cirapuhan sejak zaman kolonial hingga saat ini.
          • Asal-Usul dan Lokasi Awal
            • Keluarga Nawisan merupakan salah satu masyarakat adat di kawasan Kampung Cirapuhanrw 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.
            • Pada abad ke-19, sekitar tahun 1850–1870an, kampung ini sudah dihuni oleh masyarakat pribumi, termasuk keluarga Nawisan.
            • Nama Cirapuhan berasal dari istilah “Cipanyepuhan”yang berkaitan dengan tempat penempaan besi, menunjukkan peran mereka sebagai ahli besi, petani, dan pekerja terampil lainnya di bidang pertanian dan kerajinan besi.
            2. Struktur Keluarga Nawisan
            • Keluarga Nawisan memiliki beberapa anak perempuan, misalnya Okoh (Oko)EmehEyongdan Iwung (Ewung).
            • Menantu mereka menikah dengan tokoh-tokoh lokal:
              • Hasyim/Hasim menikah dengan Okoh
              • Mardasik menikah dengan Eyong
              • Adikarta menikah dengan Emeh
              • Mita/Karmita menikah dengan Ewung
            • Hubungan pernikahan ini memperkuat keberlanjutan keluarga dan pengaruh sosial di kampung.
            3. Peran Keluarga dalam Pembangunan
            • Pada sekitar tahun 1880-anpemerintah kolonial Belanda membangun sistem kereta api di Bandung.
            • Keluarga Nawisan dilibatkan dalam pekerjaan pembangunan infrastruktur, menunjukkan integrasi mereka dalam proyek kolonial.
            4. Pekerjaan dan Perdagangan
            • Selain ahli besi, keluarga Nawisan juga memiliki keahlian dalam bercocok tanam, perkebunan, dan usaha bidang gula.
            • Mereka juga melakukan perdagangan hasil perkebunan ke pusat kota Bandung, meskipun ada larangan bagi pedagang lokal untuk masuk ke pusat kota; sehingga mereka menunggu di tempat yang kini menjadi Simpang Dagoyang memiliki istilah "Dago" yang berarti menunggu dalam bahasa Sunda.
            • Sejarah Cipanyuuh dan Dago menurut Muhammad Basuki Yaman dapat diringkas sebagai berikut:
              1. Asal-usul Kampung Cirapuhan (Cipanyuuh):
                • Kampung Cirapuhan telah ada sejak era Belanda, sekitar tahun 1800-an. Nama “Cirapuhan” berasal dari kata “Cipanyepuhan”yang berarti tempat penempaan besi atau tempat para petani/ahli besi.
                • Secara geografis, Cirapuhan berada di wilayah berbukit dan berlembah, di sepanjang Sungai Cikapundung, dan terbagi menjadi bagian barat (RW 01, Kelurahan Dago, Kota Bandung) dan timur (Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung).
                • Masyarakat awalnya terdiri dari pribumi dengan nama keluarga seperti Nawisanyang terkenal memiliki keahlian bercocok tanam, bertani, dan pandai bekerja dengan besi.
                • Ada sejarah keterlibatan warga Cirapuhan dalam pembangunan rel kereta pada tahun 1880-an dan pembuatan Gua Belanda yang awalnya untuk PLTA Bengkok, namun kemudian difungsikan sebagai markas militer Belanda.
              2. Sejarah Dago dan Maknanya:
                • Kata Dago berasal dari bahasa Sunda “Dagoan” yang berarti menunggu, berkaitan dengan aturan kolonial Belanda yang membatasi pergerakan pedagang dan pribumi ke pusat kota. Masyarakat lokal harus menunggu di wilayah ini sebelum memasuki pusat kota.
                • Jalan Dago menjadi landmark penting yang mencerminkan interaksi masyarakat, pembangunan administratif kolonial, serta pengalaman urban lokal dan global.
              3. Evolusi Dago Elos:
                • Dago Elos merujuk pada bagian RW 02 Kelurahan Dago, yang awalnya mencakup Pasar Inpres (sekatan pasar). Kata “Elos” berkaitan dengan sekat atau ruangan pada pasar tersebut.
                • Mulai tahun 1980-an, terdapat pengkondisian administratif yang sering menimbulkan konflik agraria. Kampung Cirapuhan RW 01 beberapa kali diubah secara administrasi menjadi bagian Dago Elos RW 02, meskipun secara historis dan sosial tetap berbeda.
                • Kasus sengketa melibatkan dokumen tanah Eigendom Verponding nomor 3740, 3741, 3742, dan 6467, dengan dugaan kolusi antara penggugat dan tergugat serta manipulasi pengalihan hak tanah dari RW 01 ke RW 02.
              4. Konflik dan Modus Kolusi:
                • Menurut Muhammad Basuki Yaman, konflik Dago Elos tidak murni perdata, melainkan terdapat dugaan tindak pidana dalam rekayasa saling gugat.
                • Penggugat (seperti Muller CS) dan tergugat utama diduga mengalihkan fokus klaim tanah sehingga wilayah identik dengan Kampung Cirapuhan RW 01 dilaporkan sebagai bagian Dago Elos RW 02.
                • Dugaan manipulasi ini termasuk pengubahan dokumen SHM dan pengubahan nama lokasi untuk memperkuat klaim tertentu.
              5. Signifikansi Budaya dan Historis:
                • Kampung Cirapuhan dan Dago merepresentasikan “Segitiga Emas” di Jawa Barat karena lokasinya strategis, berbatasan dengan Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung.
                • Nama, sejarah, dan pemaknaan ruang Dago serta Cirapuhan kaya akan kontekstual sejarah, mulai dari masyarakat adat pemilik lahan, kolonial Belanda, hingga dinamika agraria modern yang kompleks.
              Referensi untuk telaah lebih lanjut:
              • Artikel, dokumen, dan video Muhammad Basuki Yaman (Slideshare dan YouTubeYouTube).
              • Analisis konflik tanah Dago Elos yang menyertakan sejarah Eigendom Verponding dan manipulasi administratif.
              Ringkasnya, menurut Muhammad Basuki Yaman, Cirapuhan merupakan wilayah historis dengan akar adat dan perdagangan, sedangkan Dago Elos adalah penamaan wilayah administratif baru yang menimbulkan konflik agraria dan sengketa tanah, dengan dugaan kolusi dan manipulasi dokumen kolonial yang melibatkan sejumlah pihak.
Berdasarkan analisis Muhammad Basuki Yaman mengenai konflik agraria di Dago Elos, klaim atas Eigendome Verponding nomor 3742 dan 6467 dianggap tidak sah baik pada masa setelah Indonesia merdeka maupun selama periode kolonial Hindia Belanda.
Alasan utama ketidakabsahan tersebut antara lain:
  1. Dokumentasi dan klaim sepihakMasyarakat dan pihak kolonial tidak menempati wilayah ini, sehingga pemetaan dan klaim Eigendome Verponding tersebut dilakukan secara sepihak oleh pihak Simongan dan atau kolonial lainnya.
  2. Indikator fisik tidak konsistenPada peta yang ada, terdapat ketidakcocokan bentuk kontur di bagian timur, yang menunjukkan adanya rekayasa atau ketidakjujuran dalam pembuatan peta/verponding.
  3. Masyarakat adat dan makamWilayah yang diklaim mengandung makam dan keberadaan masyarakat adat, yang menunjukkan klaim oleh pihak kolonial/Simongan tidak memperhitungkan hak-hak lokal.
Kesimpulannya menurut Muhammad Basuki Yaman:
“Peta dan klaim Eigendome Verponding 3742 dan 6467 tidak sah baik itu zaman Setelah Indonesia Merdeka maupun sebelumnya, Zaman Kolonial Hindia Belanda.”

 Menurut Muhammad Basuki Yaman dalam konteks sengketa lahan Dago Elos, klaim eigendom verponding 3740, 3741, 3742, dan 6467 tidak sah, salah satunya karena masyarakat pribumi telah lebih dulu mendiami dan menguasai tanah tersebut secara turun-temurun. Argumen ini digunakan untuk menentang klaim kepemilikan oleh ahli waris berdasarkan eigendom verponding yang dikeluarkan pada masa kolonial.

Menurut Muhammad Basuki Yaman dalam konteks sengketa lahan Dago Elos, klaim eigendom verponding 3740, 3741, 3742, dan 6467 tidak sah karena proses penerbitannya melanggar aturan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial sendiri, khususnya Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870. 
Pelanggaran terhadap Agrarische Wet 1870
  • Pembagian yang tidak adil: Yaman berargumen bahwa undang-undang ini seharusnya melindungi hak-hak penduduk pribumi atas tanah, tetapi pada praktiknya, sering kali terjadi pelanggaran di mana tanah-tanah produktif diberikan kepada pihak kolonial dan swasta secara sepihak.
  • Tanah milik penduduk pribumi tidak bisa diberikan: Salah satu inti dari Agrarische Wet adalah bahwa tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh penduduk pribumi tidak boleh diberikan kepada pihak lain. Namun, pemberian hak eigendom verponding pada kasus ini dan kasus serupa sering kali mengabaikan fakta bahwa tanah tersebut sudah dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat lokal.
  • Penguasaan sepihak: Pemberian hak eigendom sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak adat atau hak ulayat yang telah ada sebelumnya, yang seharusnya diakui dan dilindungi oleh undang-undang tersebut.
Implikasi pernyataan Basuki Yaman
  • Penentangan terhadap legitimasi kolonial: Argumentasi ini menyoroti bahwa bahkan dalam kerangka hukum kolonial pun, tindakan pemerintah Belanda yang menerbitkan eigendom verponding tersebut cacat hukum. Hal ini memperkuat posisi warga bahwa klaim ahli waris yang didasarkan pada dokumen kolonial tersebut tidak berdasar.
  • Penekanan pada sejarah penguasaan tanah: Yaman menggunakan argumen ini untuk memperkuat poin bahwa penguasaan tanah oleh masyarakat pribumi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Agrarische Wet 1870 berlaku, dan hak-hak tersebut seharusnya diakui, bukan diabaikan.
  • Bagian dari argumen holistik: Argumentasi ini merupakan salah satu dari beberapa dasar yang digunakan oleh Basuki Yaman dan masyarakat Dago Elos untuk melawan klaim ahli waris.
  • eigendome verponding 3742 dan 6467 dan atau juga 3740 dan 3741 tidak sah karena kolonial melanggar aturan gubernur jendral nya terkait agre wet tahun 1870 menurut muhammad basuki yaman . 
  • Artinya, dari perspektif sejarah dan verifikasi fakta yang dilakukan oleh Yaman, data Eigendome Verponding 3742 dan 6467 tidak memiliki legitimasi hukum atau keabsahan klaim yang sah di wilayah tersebut.
  • Muhammad Basuki Yaman, warga Kampung Cirapuhan, telah menyusun paparan serta analisis terkait sejarah Kampung Cirapuhan dan konflik terkait Dago, terutama yang menyangkut Dago Elos dan isu sengketa tanah. Berikut ringkasan hasil penelusuran berdasarkan sumber yang ada:

    1. Asal Usul Kampung Cirapuhan

    • Nama Cirapuhan berasal dari kata Sunda Cipanyeupuhanyang merujuk pada tempat penempaan besi dan atau para petani, serta ahli penggunaan alat dari besi.
    • Kampung ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, sekitar tahun 1800-an.
    • Kampung Cirapuhan terletak di wilayah berbukit dan berlembah, dibatasi oleh sungai (sekarang Sungai Cikapundung) dan sumber mata air (misalnya Cicau).

    2. Masyarakat dan Kehidupan Awal

    • Masyarakat adat awal (sekitar 1850–1870) bernama Nawisanmemiliki anak-anak yang kemudian menikah dengan keluarga lain sehingga menimbulkan keturunan tersebar di wilayah tersebut.
    • Pekerjaan masyarakat meliputi pertanian, perdagangan gula, dan kerajinan besi.
    • Banyak warga Cirapuhan juga terlibat dalam pembangunan infrastruktur kolonial, termasuk pembangunan rel kereta Bandung pada akhir 1800-an, bekerja sama dengan KNIL.

    3. Sejarah Dago dan Makna Nama

    • Dago berasal dari kata Sunda naDagoanyang berarti "tempat menunggu", terkait dengan larangan masuk pusat kota bagi pedagang pribumi pada era kolonial.
    • Dago Elos merupakan nama lokasi di RW 02 Dago, bagian dari pasar Inpres (sekat-sekat dalam pasar), bukan seluruh wilayah Dago maupun Kampung Cirapuhan RW 01.
    • Kampung Cirapuhan RW 01 tidak termasuk Dago Elos RW 02, meskipun ada upaya pengubahan nama lokasi oleh beberapa pihak.

    4. Konflik Agraria dan Modus Mafia Tanah

    • Konflik yang kerap muncul disebut rekayasa saling gugatdi mana penggugat dan tergugat diduga berkolusi untuk mengklaim lahan tertentu, sering memanipulasi dokumen hak tanah kolonial (Eigendome Verponding).
    • Contoh sengketa:
      • Eigendome Verponding 3740, 3741, 3742, dan 6467.
      • Lahan yang disengketakan sebagian besar berada di RW 01 Kampung Cirapuhan, namun beberapa pihak mengklaim sebagai bagian RW 02 Dago Elos.
    • Dugaan modus meliputi:
      • Mengubah nama dan alur administrasi lokasi untuk mengalihkan hak kepemilikan tanah.
      • Mengklaim lahan yang berisi makam atau aset vital lainnya seolah milik pihak lain.

    5. Periode Sejarah Muslim-Yaman dan Relevansi

    • Muhammad Basuki Yaman menekankan pentingnya memahami sejarah lokal untuk menghindari manipulasi klaim tanah.
    • Paparannya memuat kronologi sejarah tanah dari zaman kolonial Belanda, Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi, menyoroti:
      • Keterlibatan masyarakat adat dalam pembangunan infrastruktur kolonial.
      • Konflik agraria yang muncul akibat klaim sepihak dan pengalihan hak atas lahan.
      • Peran berbagai pihak termasuk keluarga adat, pengembang, yayasan, dan oknum birokrasi.

    6. Kesimpulan

    • Kampung Cirapuhan RW 01 adalah lokasi asli yang disengketakan, bukan bagian Dago Elos RW 02.
    • Konflik agraria di Dago sebagian besar diwarnai oleh upaya pengubahan nama lokasi dan dokumen administrasi untuk mengklaim lahan secara tidak sah.
    • Sejarah ini memberikan pemahaman penting tentang hak adat, tata kelola lahan kolonial, dan praktik kolusi dalam sengketa perkotaan di Bandung.

    Referensi Utama oleh Muhammad Basuki Yaman

    • Analisis dan dokumen: Slideshare – Modus Konflik Dago Elos
    • Video wawancara: YouTube – Sejarah Cirapuhan
    • PDF historis: Slideshare – Sejarah Dago Elos
    Ringkasan ini memberikan pemahaman kronologis dan topografis mengenai Kampung Cirapuhan, Dago, dan konflik agraria yang dikaji oleh Muhammad Basuki Yaman secara mendetail.
  • informasi spesifik mengenai definisi atau teori konflik agraria menurut Muhammad Basuki Yaman. Sebagian besar referensi tentang teori konflik agraria merujuk pada pemikiran :
  • Akar masalah: Konflik agraria umumnya terjadi karena ketidakserasian atau kesenjangan terkait penguasaan atas tanah dan perebutan sumber daya alam.
  • Muhammad Basuki Yaman, warga Kampung Cirapuhan dan koordinator pertanahan di wilayah tersebut, menguraikan sejarah dan dinamika konflik agraria di Dago secara mendetail, mulai dari zaman kolonial Belanda hingga periode modern. Berikut ringkasan analisisnya:

    1. Awal Konflik Agraria Zaman Kolonial

    • Siapa yang terlibat: Keluarga Nawisan, pribumi lainnya, Simongan, dan KNIL.
    • Dimana: Kawasan Penyepuhan, kemudian dikenal sebagai Blok Dago di Bandung.
    • Kapan: Sekitar tahun 1850–1900.
    • Bagaimana: Konflik muncul ketika pihak kolonial (Simongan memanfaatkan KNIL) menekan pribumi untuk menyerahkan tanah yang sebelumnya merupakan hak kerja dan kesepakatan masyarakat adat. Keluarga Nawisan kemudian dipindahkan ke wilayah baru yang disebut Kampung Cirapuhan (ci sungai, panyepuhan tempat penempaan atau pemindahan).

    2. Konflik Agraria Zaman Indonesia Merdeka

    • Siapa: Oknum penguasa lokal, keluarga tertentu (Karto, Nawisan), dan masyarakat pribumi.
    • Dimana: Kampung Cirapuhan dan sekitarnya, termasuk Dago Elos.
    • Kapan: Sekitar 1948–1980-an.
    • Bagaimana: Beberapa pihak mengatur perpindahan warga, sengketa tanah akibat penggalian pasir, pembangunan infrastruktur seperti Terminal Dago, Pasar Inpres, dan kantor pos. Konflik diselesaikan sebagian dengan ganti rugi atau pembagian wilayah.

    3. Potensi Konflik Terkait Penggalian Pasir

    • Siapa: Masyarakat adat Kampung Cirapuhan, pekerja penggali pasir, oknum aparatur dan yayasan setempat (misal Yayasan Ema).
    • Kapan: Sekitar 1956–1974.
    • Bagaimana: Awalnya penggalian dilakukan secara tradisional, namun muncul pihak luar yang mengendalikan kegiatan ini sehingga terjadi sengketa. Yayasan mengklaim tanah dan menyerahkannya kepada pemerintah, berbeda dengan kesaksian masyarakat adat, sehingga penggalian dihentikan pada 1974.

    4. Masalah Mafia Tanah dan Manipulasi Proses Hukum

    • Muhammad Basuki Yaman mengungkap adanya kolusi antara penggugat dan tergugat di Dago Elos untuk merubah nama lokasi (kampung Cirapuhan dijadikan Dago Elos RW 02) dan memanipulasi tata batas.
    • Lokasi sebenarnya: Kampung Cirapuhan RW 01, yang berbeda dari Dago Elos RW 02.
    • Modus: Klaim tanah melalui sertifikat SHM, pengelompokan ulang wilayah, serta rekayasa gugatan perdata yang mengaburkan sejarah dan hak masyarakat adat, termasuk pemanfaatan Eigendome Verponding (dokumen kepemilikan dari masa kolonial).

    5. Sejarah Singkat Masyarakat dan Kampung Cirapuhan

    • Kampung Cirapuhan sudah ada sejak abad 19, awalnya sebagai tempat petani dan pekerja.
    • Nama "Cirapuhan" berasal dari “Cipanyeupuhan,” artinya tempat penempaan atau penempatan pekerja, dengan kaitan aliran sungai dan air (ci sungai).
    • Masyarakat adat Nawisan dan keturunannya memiliki sejarah panjang dalam pembangunan rel kereta dan gua Belanda, serta keterlibatan dalam berbagai aktivitas ekonomi lokal.

    Kesimpulan

    Menurut Muhammad Basuki Yaman, konflik agraria di Dago merupakan akibat dari interaksi rumit antara kolonialisme Belanda, penguasaan tanah oleh pemodal eksternal, perubahan administrasi wilayah, pengelolaan SHM dan Eigendome Verponding, serta masuknya mafia tanah modern. Wilayah yang disengketakan sering tidak sesuai dengan klaim resmi, dan penyelesaian konflik tetap menghadapi tantangan historis dan administratif.
    Referensi utama:
    • Slideshare Muhammad Basuki Yaman – Awal Mula Konflik Agraria Dago
    • Analisis Modus Konflik Dago Elos
    • Konten video wawancara dengan Muhammad Basuki Yaman di YouTube tentang mafia tanah Dago Elos.
    • Muhammad Basuki Yaman, warga Kampung Cirapuhan, memberikan analisis mendalam terkait konflik agraria di Dago Elos, Bandung, Jawa BaratBerikut adalah ringkasan perspektif dan deduksi beliau berdasarkan penelitian dokumen, wawancara dengan masyarakat, serta penelaahan arsip sejarah dan hukum agraria:

      1. Latar Belakang Sejarah dan Geografi

      • Dago Elos merupakan bagian dari RW 02 Kelurahan Dago, meski nama ini sering diperluas secara ilegal untuk mencakup Kampung Cirapuhan RW 01 yang sebenarnya berbeda secara administratif.
      • Kampung Cirapuhan sudah ada sejak zaman Belanda (1800-an), awalnya dikenal sebagai Cipanyeupuhantempat kegiatan pertanian dan penempaan besi lokal. Wilayah ini berbukit dengan lembah dan memiliki sejumlah mata air, termasuk Sungai Cikapundung dan Cicau.
      • Awal konflik agraria di Dago bermula dari praktik kolonial, pembangunan rel kereta, pabrik semen, dan sistem hak tanah Hindia Belanda (Eigendom Verponding), yang memicu pengalihan dan sengketa hak milik antara pihak kolonial dan masyarakat lokal.

      2. Modus Operandi Konflik Menurut Basuki Yaman

      • Konflik modern (sejak 2010-an) ditandai oleh kolusi antara penggugat dan tergugat utamadengan manipulasi klaim lahan yang seolah-olah berada di RW 02/Dago Elos padahal sebagian besar berada di RW 01/Kampung Cirapuhan.
      • Teknik yang digunakan meliputi:
        1. Pengubahan nama lokasi agar lahan sengketa terlihat berada di wilayah hukum berbeda. Misal mengubah RW 01 menjadi bagian RW 02 atau Dago Elos.
        2. Pengalihan objek tanah (Eigendome Verponding nomor 3742, 6467) sehingga klaim penggugat mengacu pada lahan yang berbeda secara historis dan fisik.
        3. Dugaan rekayasa dokumen dan petatermasuk klaim lahan yang menimbulkan cekungan atau ketidakcocokan dengan kontur asli.

      3. Pajak/Legalitas dan Dugaan Manipulasi

      • Basuki menekankan klaim penggugat didasarkan pada hak Eigendome Verponding era kolonialpadahal banyak klaim tersebut tidak sah menurut hukum agraria Indonesia modern (UUPA 1960).
      • Dugaan manipulasi termasuk persekongkolan untuk memastikan penggugat menang di proses perdata, sekaligus menekan posisi warga dan memperluas lahan sengketa sehingga tercipta konflik kepemilikan yang terstruktur.

      4. Kronologi Konflik Modern

      • Penggugat: Keluarga Müller dan PT Dago Inti Graha mengklaim sekitar 6,3–6,9 hektar lahan.
      • Warga Dago Elos: Sekitar 300 warga dianggap tergugat dan diancam penggusuran.
      • Kasus memasuki MA melalui proses Peninjauan Kembali (PK 2022) setelah sebelumnya putusan Kasasi 2019 menguntungkan warga. PK menegaskan kepemilikan lahan untuk penggugat, memicu protes dan kericuhan pada Agustus 2023.

      5. Dampak Sosial dan Hukum

      • Terjadi kerusuhan, penembakan gas air mata, dan tindakan aparat terhadap warga.
      • Warga melakukan perlawanan hukum dan publik, termasuk laporan dugaan pemalsuan dokumen dan tindakan mafia tanah.
      • Basuki menekankan bahwa kasus ini bukan sekadar sengketa perdata tapi mengandung indikasi tindak pidana terkait mafia tanah dan manipulasi administrasi.

      6. Kesimpulan Perspektif Muhammad Basuki Yaman

      • Konflik Dago Elos mencerminkan kolusi dan manipulasi hukum pertanahan dengan memanfaatkan celah dokumen kolonial dan perubahan administrasi lokasi.
      • Banyak lahan yang diklaim penggugat sebenarnya berada di Kampung Cirapuhan RW 01, bukan Dago Elos RW 02.
      • Dugaan kolusi ini memperlihatkan bagaimana proses hukum bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pihak berkuasa atau korporasi, menindas hak warga yang telah lama menempati tanah tersebut.
      • Perjuangan warga bukan hanya mempertahankan rumah dan lahan, tetapi juga mempertahankan kebenaran sejarah, hak milik adat, dan hukum agraria yang sah.
      • Latar Belakang

        Menurut Muhammad Basuki Yamankasus sengketa tanah Dago Elos di Bandung bukan sekadar konflik perdata biasa, melainkan indikasi adanya praktik mafia tanah dengan modus rekayasa saling gugat (kolusi antara penggugat dan tergugat utama)Kasus ini melibatkan perubahan administrasi wilayah dan manipulasi objek tanah, dengan dampak signifikan terhadap warga Kampung Cirapuhan yang menjadi korban.
        • Dago ElosNama wilayah bagian RW 02 Kelurahan Dago.
        • Kampung CirapuhanAslinya RW 01 yang terkait sengketa tanah, kemudian dimasukkan ke klaim Dago Elos RW 02 melalui manipulasi dokumentasi dan administrasi.
        • Luas tanah yang disengketakan: Mengacu pada dokumen Eigendom Verponding nomor 3740, 3741, 3742, dan 6467.

        Modus Operandi yang Diduga

        1. Pengalihan Objek Tanah:
          Jaringan mafia tanah memusatkan objek sengketa yang berada di Kampung Cirapuhan RW 01 ke Dago Elos RW 02 agar objek tampak legal untuk penguasaan oleh penggugat dan tergugat utama.
        2. Kolusi Saling Gugat:
          • Dua pihak resmi yang disidangkan tampak saling menentang, padahal terindikasi satu jaringan kolusi.
          • Tujuan: memprioritaskan penggugat untuk mendapatkan lahan 6,3 ha, kemudian dibagi antar jaringan.
        3. Manipulasi Ukuran Lahan dan Administrasi:
          • Objek tanah diperluas secara fiktif, misal 15.000 m², serta objek SHM kecil seperti 80 m², 270 m², 868 m² digunakan sebagai mekanisme klaim tambahan.
          • Pengubahan wilayah Cirapuhan menjadi bagian Dago Elos untuk memperkuat klaim legal penggugat.
        4. Pengalihan Keuntungan:
          • Jika pengadilan memenangkan tergugat, jaringan tetap bisa mendapatkan lahan melalui kolusi dan manipulasi objek yang tersebar.
          • Transaksi uang dan aliran hak tanah dicatat, misal Rp 300 juta untuk kuasai objek 220 m², pengalihan 15.000 m² kepada Dedy Mochamad Saad.

        Jumlah dan Jenis Pihak Menurut Yaman

        Yaman membedakan pihak dalam kasus ini, berbeda dari versi resmi persidangan yang hanya mengakui pihak:
        1. Pihak 1Korban yang ikut sidang (misal warga yang tergugat tetapi haknya dimanipulasi).
        2. Pihak 2Pelaku yang ikut sidang (penggugat/tergugat utama yang berkolusi).
        3. Pihak 3Pelaku yang tidak sidang, memanipulasi objektif tanah atau dokumen secara tersembunyi.
        4. Pihak 4Korban yang dikondisikan untuk tidak ikut sidang atau tidak diperoleh keadilan.

        Bukti dan Bukti Kunci

        • Dokumen pengadilan: bab alat bukti nomor 39, 41, dan 27 (menunjukkan manipulasi administrasi dan pemisahan wilayah).
        • Riwayat peralihan tanah dan klaim yang tidak sesuai dengan luas objektif di lapangan.
        • Dugaan kolusi antara penggugat dan tergugat utama serta jaringan mereka, termasuk spekulan dan oknum masyarakat.

        Kesimpulan Versi Muhammad Basuki Yaman

        • Kasus sengketa Dago Elos 2016 adalah kasus pidanabukan perdata semata, karena ada indikasi:
          • Rekayasa saling gugat.
          • Kolusi penggugat dan tergugat utama untuk merebut lahan warga.
          • Manipulasi administrasi wilayah (Cirapuhan dijadikan bagian Dago Elos RW 02).
        • Dampak: Warga asli Kampung Cirapuhan menjadi korban, hak tanahnya dikurangi atau dihilangkan.
        • Modus ini berlangsung sejak tahun 1980-an dan terus berlangsung hingga pengadilan modern.
        Menurut Yaman, penyelesaian yang adil harus mempertimbangkan pihak sebenarnya dan membongkar jaringan kolusi, bukan hanya memandang duel pihak sengketa secara formal.

        Referensi Utama

        • Muhammad Basuki Yaman, Sejarah Dago Elos (SlideShare)
        • Wawancara Yaman, Membongkar Mafia di Dago Elos (YouTube)
        • Analisis kasus, Dago Elos PK kedua Ditolak atau Batal demi Hukum (YouTube)
        • Berdasarkan informasi yang tersedia, Muhammad Basuki Yaman memang memberikan pandangan terkait kasus sengketa tanah Dago Elos. Keterlibatannya tidak hanya sebatas komentar, tetapi juga berupa laporan pengaduan ke Komisi III DPR RI terkait kasus tersebut. 
          Namun, perlu dicatat bahwa pandangan Basuki Yaman ini bersifat subjektif dan terkesan lebih berpihak pada warga Dago Elos. Berikut adalah beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari dokumen-dokumen yang dibuat oleh Basuki Yaman:
          • Fokus pada kasus pidana: Basuki Yaman memandang kasus Dago Elos sebagai kasus pidana, bukan perdata.
          • Kecurigaan adanya mafia tanah: Basuki Yaman menduga adanya keterlibatan mafia tanah dalam kasus Dago Elos.
          • Perjuangan legalitas hak tanah: Basuki Yaman mendukung perjuangan warga Kampung Cirapuhan untuk mendapatkan legalitas hak atas tanah mereka.
          • Dalam kasus Dago Elos, Muhammad Basuki Yaman memang menyiratkan bahwa adanya gugatan timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat adalah bentuk rekayasa atau kolusi. Menurutnya, hal ini bukan hanya konflik tanah biasa, melainkan rekayasa yang melibatkan jaringan mafia tanah, spekulan, dan oknum. Basuki Yaman adalah warga Kampung Cirapuhan yang aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat adat terkait sengketa tanah di Dago Elos. 
            Dalam konteks pandangan Basuki Yaman:
            • Ia menyatakan bahwa skema kolusi ini melibatkan jaringan mafia tanah, spekulan, dan oknum tertentu.
            • Baginya, kasus ini bukanlah sekadar konflik agraria biasa, melainkan rekayasa atau kolusi yang direncanakan.
            • Berdasarkan analisis Muhammad Basuki Yaman, kasus sengketa tanah Dago Elos tidak sekadar konflik dua pihak, melainkan merupakan contoh rekayasa saling gugat (kolusi saling gugat) yang kompleks melibatkan empat pihak. Berikut penjelasan rinci:

              1. Empat Pihak dalam Kasus Dago Elos

              1. Pihak Pertama (Korban dalam Sidang)
                • Tergugat di pengadilan, seperti Tergugat 334 (Dinas Perhubungan/Terminal Dago) dan warga yang memiliki hak atas tanah namun hanya dilibatkan secara formal.
                • Sering menjadi korban dalam proses sidang, meski kehadiran mereka hanya formal.
              2. Pihak Kedua (Pelaku dalam Sidang)
                • Penggugat dan/atau jaringan tergugat utama, termasuk oknum warga, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparatur, spekulan, dan oligarki.
                • Pihak ini mendominasi jalannya sidang, memiliki kuasa dan berkolusi dengan pihak lain, baik disadari maupun tidak.
                • Tujuan utamanya adalah memanipulasi klaim dan hasil sengketa.
              3. Pihak Ketiga (Korban Tidak dalam Sidang)
                • Masyarakat dan negara, termasuk pemilik tanah sah dan fasilitas umum seperti lapangan bola, masjid, serta makam.
                • Banyak dari mereka tidak dilibatkan dalam sidang sehingga haknya terintimidasi atau dihalangi.
              4. Pihak Keempat (Pelaku/Otak Pelaku Tidak dalam Sidang)
                • Individu seperti Deddy Mochamad Saad, Iwan Surjadi, Ismail Tanjungserta spekulan lainnya yang terlibat manipulasi dokumen tanah tanpa menghadiri sidang.
                • Berkolusi dengan pihak-pihak lain untuk mendapatkan legal standing melalui jalur yang manipulatif.

              2. Modus Operandi Rekayasa Saling Gugat

              • Satu jaringan memanipulasi siapa yang menggugat dan digugat sehingga tampak ada dua pihak, padahal sebenarnya empat pihak terlibat.
              • Nama wilayah Kampung Cirapuhan diubah menjadi Dago Elosdengan klaim objek seperti tanah 15.000 m² dimanipulasi sehingga penguasaan lahan bisa diperluas dari 80 m² hingga 6,9 ha.
              • Terdapat aliran dana terkait kolusi, contohnya aliran Rp 300 juta untuk penguasaan 220 m² dari Budi Harley ke penggugat.
              • Banyak sertifikat (SHM) termasuk 80 m², 270 m², dan 868 m² mengalami manipulasi dokumen atau pengalihan ganda.
              • Pelaku yang tidak disidangkan mendapatkan keuntungan, sedangkan korban yang hadir di sidang justru dijadikan pion atau tertindas.

              3. Indikasi Kolusi dan Sandiwara

              • Gugatan formal dikendalikan oleh satu jaringan penggugat dan tergugat utama sehingga konflik tampak “alami” padahal diduga penuh rekayasa.
              • Bukti dan alas hak yang diajukan sering tidak jelas atau bertentangan dengan data BPN Bandung.
              • Pemisahan pihak benar dan salah menjadi kabur karena adanya campuran antara warga yang sah, kolusi spekulan, dan jaringan mafia tanah.
              • PK kedua kasus Dago Elos juga dianggap bagian dari sandiwara berkelanjutan karena tetap menampilkan hanya dua pihak formal, bukan empat pihak sebenarnya.

              4. Dampak bagi Masyarakat dan Pemerintah

              • Warga Kampung Cirapuhan RT 07/RW 01 dan RW 02, fasilitas publik, dan aset negara dirugikan.
              • Kasus ini menunjukkan bahwa sistem hukum bisa dimanipulasi oleh jaringan yang kuat dengan akses, koneksi, dan manipulasi dokumen.
              • Muhammad Basuki Yaman mendorong pemerintah membatalkan atau non-execute kasus ini karena banyak sandiwara hukum yang merugikan masyarakat dan negara.

              5. Kesimpulan

              Menurut Muhammad Basuki Yaman:
              • Kasus Dago Elos merupakan rekayasa saling gugatbukan murni sengketa dua pihak.
              • Terdapat empat pihak terlibat dengan peran berbeda: korban, pelaku dalam sidang, korban yang tidak disidang, dan otak pelaku.
              • Modus operandi melibatkan kolusi, manipulasi dokumen, aliran dana, dan perubahan klaim wilayah untuk keuntungan jaringan tertentu.
              • Proses formal, termasuk putusan PN Bandung 2016 (Nomor 454/PDT.G/2016/PN.BDG), dianggap mengaburkan fakta dan kesahihan hak masyarakat asli.
              Referensi utama: laporan Muhammad Basuki Yaman melalui SlideShare dan YouTube: SlideShare 1SlideShare 2serta analisis putusan PN Bandung 2016.
              • Pengalihan Nama Lokasi: Menurut Basuki Yaman, klaim kepemilikan atas tanah Dago Elos didasari oleh dugaan pengalihan nama lokasi dari Kampung Cirapuhan ke Dago Elos atau RW 02. Ia menduga bahwa modus ini sudah terjadi sejak tahun 1980-an.
              • Laporan ke DPR: Sebagai bentuk perlawanan, Basuki Yaman pernah membuat laporan pengaduan ke Komisi III DPR RI dan Komisi II DPR RI dan Komisi DPR RI lainnya dan atau juga lembaga Pemerintah Lainnya , mengenai kasus ini, dengan penekanan bahwa masalah Dago Elos adalah kasus pidana mafia tanah, bukan perdata . 
              • Menurut paparan Muhammad Basuki Yaman, warga Kampung Cirapuhan dan analis konflik pertanahan, kasus pengalihan lahan di Kampung Cirapuhan, khususnya terkait Eigendome Verponding nomor 3742 dan 6467memiliki konteks historis dan modus operandi tertentu. Berikut uraian lengkapnya:

                1. Sejarah dan Struktur Lokal

                • Kampung Cirapuhan berada di Bandung, RW 01 Kelurahan Dago, dan sempat terbagi menjadi bagian barat dan timur. Cirapuhan merupakan wilayah adat yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda (1800-an), dengan fungsi awal sebagai tempat pertanian dan area kerja besi, kemudian berkembang menjadi pemukiman.
                • Kontur alam kampung berbukit dan berlembah, terdapat sungai besar (Sungai Cikapundung) dan mata air, yang menjadi dasar penamaan lokal (Ci berarti air dalam bahasa Sunda). Nama Cirapuhan berasal dari Cipanyepuhan.

                2. Eigendome Verponding 3742 dan 6467

                • Eigendome Verponding adalah sertifikat tanah kolonial Belanda yang mengatur kepemilikan dan pajak lahan.
                • Objek 3742 dan 6467 luasnya sekitar hektar, identik dengan wilayah RW 01 Kampung Cirapuhan.
                • Muhammad Basuki Yaman menekankan bahwa klaim atas Eigendome Verponding 3742 dan 6467 tidak sahObjek 6467 berisi makam, sementara peta 3742 terdapat kejanggalan berupa cekungan yang tidak sesuai dengan kontur zaman kolonial, menunjukkan manipulasi peta atau klaim sepihak oleh pihak tidak kredibel.

                3. Modus Pengalihan dan Konflik

                • Modus utama adalah pengubahan nama lokasiKampung Cirapuhan RW 01 dialihkan menjadi bagian Dago Elos RW 02yang merupakan wilayah berbeda. Hal ini mempermudah klaim sepihak atas lahan oleh penggugat dan tergugat dalam kolusi.
                • Beberapa pihak yang terlibat: oknum warga, oknum Tomas, oknum Toga, aparatur, oligarki, spekulan, dan bahkan warga Kampung Cirapuhan sendiri yang memanfaatkan posisi untuk membentuk jaringan mafia tanah.
                • Adanya dugaan kolusi saling gugatgugatan hukum dibuat agar lahan yang bukan hak mereka bisa diakui sebagai milik, menggunakan dokumen lama seperti Eigendome Verponding untuk menutupi fakta.

                4. Fakta Historis dan Bukti Lapangan

                • Kampung Cirapuhan telah dikuasai masyarakat asli jauh sebelum kolonial Belanda mengklaim lahan.
                • Beberapa lahan dipindahkan atau digusur pada masa kolonial maupun setelah kemerdekaan, termasuk terkait pembangunan rel kereta, terminal, pasar, dan proyek pemerintah, namun seringkali disertai manipulasi administrasi.
                • Masyarakat adat dan makam menjadi indikator sahnya kepemilikan, memperkuat klaim warga lokal atas 3742 dan 6467.

                5. Kesimpulan Menurut Muhammad Basuki Yaman

                • Pengalihan dan klaim Eigendome Verponding 3742 dan 6467 tidak sah secara historis maupun hukum.
                • Konflik di Dago Elos dan pengubahan Kampung Cirapuhan menjadi RW 02 Dago Elos adalah bagian dari modus mafia tanahtermasuk rekayasa dokumen dan kolusi antara penggugat dan tergugat untuk menguasai lahan yang bukan hak mereka.
                • Identifikasi kasus ini menekankan pentingnya validasi sejarah lokal, bukti lapangan, dan pengakuan masyarakat adat dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Bandung.

                Referensi dan Dokumentasi

                • SlideShare: Modus Konflik Dago Elos Mengubah Nama Lokasi (Muhammad Basuki Yaman)
                • YouTube: Paparan video sejarah Kampung Cirapuhan dan kasus Dago Elos oleh Muhammad Basuki Yaman
                • Publikasi terkait sengketa Eigendome Verponding melalui arsip UNPAD dan dokumen riwayat tanah kolonial.
                Ringkasnya, kasus ini bukan sekadar sengketa hukum, tetapi skenario kolusi dan manipulasi administratif yang menimpa hak masyarakat adat Kampung Cirapuhan atas lahan tradisionalnya. Eigendome Verponding 3742 dan 6467 menjadi simbol klaim tidak sah yang harus ditelaah berdasarkan fakta adat dan sejarah.
              • Menurut Muhammad Basuki Yaman, putusan terkait sengketa tanah Dago Elos yang memenangkan pihak keluarga Muller, terutama yang didasarkan pada hak eigendom verponding 3742 dan 6467, adalah batal demi hukum dan non-executable. Pandangan ini berasal dari perjuangannya untuk membela warga Kampung Cirapuhan dan menyoroti adanya dugaan rekayasa dan praktik mafia tanah dalam kasus tersebut . 
              • Menurut analisis Muhammad Basuki Yamanaktor utama dalam kasus mafia tanah di Bandung, khususnya di wilayah Dago Elos, adalah kombinasi dari oknum warga, oknum tokoh masyarakat dan agama (Tomas Toga), aparatur pemerintah, praktisi hukum, oligarki, dan spekulan yang tergabung dalam satu jaringan. Dalam pandangan Yaman, konflik seperti gugatan terhadap warga Dago Elos sering bersifat rekayasa, berupa saling gugat atau kolusi antara penggugat dan tergugat utamasehingga pihak yang tampak berseberangan sebenarnya berada dalam kendali jaringan yang sama.
                Dengan kata lain, aktor utama bukan hanya satu individu, melainkan suatu jaringan terorganisir termasuk berbagai pihak internal pemerintahan dan masyarakat yang memanfaatkan celah hukum serta posisi strategis untuk menguasai dan memanipulasi lahan. Pihak-pihak seperti Didi Koswara, Asep Makmun, Alo Sana, dan Apud Sukendar disebut sebagai tergugat utama yang diberi peran dalam skema kolusi ini, tetapi menurut Yaman, mereka bertindak sebagai bagian dari jaringan, bukan sebagai pemimpin tunggal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Isi

Domein verklaring

Analisa Modus Mafia Tanah Saling Gugat