Analisa pihak yang menganalisa dan atau menganalisa Analisa pihak terkait kasus tanah Dago

 

 

 


 

 

 

 

JURNAL

POROS HUKUM PADJADJARAN

P-ISSN: 2715-7202

E-ISSN: 2715-9418

Artikel diterima:

9 September 2022

 

Artikel diterbitkan:

30 November 2022

 

DOI:

https://doi.org/10.23920/jphp

.v4i1.1085

 

Halaman Publikasi: http://jurnal.fh.unpad.ac.id/i ndex.php/JPHP/issue/archive

 

Diterbitkan oleh: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran


 Bismillah Alhamdulillah Berikut ini kami Analisa pihak yang menganalisa dan atau menganalisa Analisa pihak terkait kasus tanah Dago . Oleh Muhammad Basuki Yaman . Analisis putusan Dago Elos Melawan Muller bersaudara , analisa putusan dago elos . Analisa kasus Didi Koswara dkk melawan Heri Hermawan dkk ,

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM KASUS WARGA DAGO ELOS MELAWAN KELUARGA MULLER: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN NOMOR 109 PK/PDT/2022

THE ANALYSIS OF JUDGE’S DECISIONS IN DAGO ELOS AGAINST MULLER’S FAMILY CASE: JURIDICAL ANALYSIS OF THE SUPREME COURT DECISION NUMBER 109 PK/PDT/2022

Amalia Nurfitria Syukura, Hajriyanti Nurainib, Yusmiati Yusmiatic

ABSTRAK

Sengketa tanah Dago Elos melawan Keluarga Muller yang bermula pada tahun 2016 sudah melalui Peninjauan Kembali pada tahun 2022.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Ia mengungkapkan ada kata ` bermula `  pada awal paragraph . Terus terang kami tidak sependapat .Pada hal 80 sd 89 pada putusan pengadilan negeri perdata . bahwa pada tanggal 1 juni 2016 bu raminten memberi kuasa ke H Syamsul marerappa . kuasanya kesepakatan dengan Asep Makmun tanggal 06 November 2016 .

Kami tidak sependapat , Narasi yang disampaikan pihak ini seolah ada gugatan .Menurut dugaan kami adalah kolusi saling gugat .

Lain dari pada itu , dalam putusan pengadilan negeri perdata hal 120 ada keterangan syarif Hidayat mengurus surat tanah diduga objek 15.000 meter Pada tahun 2010 .  Hal ini terkait Didi Koswara ( tergugat I ) dan juga dijadikan bab alat bukti pihak tergugat .

Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 109 PK/109 PDT/2022, mengabulkan gugatan Keluarga Muller dan menyatakan bahwa Keluarga Muller memiliki hak atas kepemilikan objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 374 dan menyerahkan tanah tersebut kepada PT Dago Inti Graha. Adanya putusan tersebut menimbulkan

ketidakadilan bagi warga Dago Elos. Oleh karena itu, tulisan ini berfokus pada bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 109 PK/PDT/2022 dan apakah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan terkait. Metode penelitian ini adalah metode normatif dengan menggunakan pendekatan kasus, lalu dalam melakukan pemecahan isu hukum menggunakan objek kajian pokok ratio decidendi.

Penjelasan Muhammad Basuki Yaman : Ratio decidendi adalah alasan hukum yang menjadi dasar esensial suatu putusan hakim dan menciptakan preseden yang mengikat. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti "alasan untuk keputusan" dan merujuk pada prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan fakta-fakta material kasus, tidak seperti obiter dictum yang bersifat tidak mengikat. 

 

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertimbangan hakim pada putusan Nomor 109 PK/PDT/2022 tidak sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 28 H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait dan tidak berkeadilan.

 

Kami tidak sependapat , Narasi yang disampaikan pihak ini seolah ada gugatan .Menurut dugaan kami adalah kolusi saling gugat .

 

 

Kata kunci: hak atas tanah; pendaftaran tanah; pertimbangan hakim.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

a Fakultas  Hukum  Universitas  Padjadjaran,

Jalan

Ir.

Soekarno

Km.21

Jatinangor,

Sumedang,

email:

amalia18003@mail.unpad.ac.id

 

 

 

 

 

 

 

b Fakultas  Hukum  Universitas  Padjadjaran,

hajriyanti18001@mail.unpad.ac.id

Jalan

Ir.

Soekarno

Km.21

Jatinangor,

Sumedang,

email:

c Fakultas  Hukum  Universitas  Padjadjaran,

Jalan

Ir.

Soekarno

Km.21

Jatinangor,

Sumedang,

email:

yusmiati18001@mail.unpad.ac.id


ABSTRACT

The Dago Elos land dispute against the Muller’s Family which began in 2016 has gone through a judicial review in 2022. The Supreme Court in its Decision Number 109 PK/109 PDT/2022, granted the Muller Family’s claim and stated that the Muller Family has the right to ownership of the land object of Eigendom Verponding Number 3740, 3741, 374 and handed over the land to PT. Dago Inti Graha. This decision has caused injustice to the residents of Dago Elos. Therefore, this paper focuses on how the judge's considerations in Decision Number 109 PK/PDT/2022 are and whether it is in accordance with the provisions in force in the Basic Agrarian Law and related laws and regulations. This research method is a normative method using a case approach, then in solving legal issues using the main study object of the ratio decidendi. The results of this study indicate that the judge's consideration in the decision Number 109 PK/PDT/2022 is not in accordance with Article 4 paragraph (1) and paragraph (2) of the Basic Agrarian Principles, Article 28 H paragraph (4) and Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution and related laws and regulations and is not fair.

Keywords: judge’s decision; land registration; land rights.

 

PENDAHULUAN

Masuknya Belanda ke Indonesia pada 1912 memaksa diberlakukannya hukum Negara Belanda di Indonesia, yang mengakibatkan terjadinya dualisme hukum pertanahan di Indonesia.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Kami agak sependapat , perlu kami tambahkan bahwa colonial yang bertanggungjawab terkait penerbitan Eigendome verponding 3742 dan 6467 ( dan atau dengan 3740 dan atau 3741 ) telah melanggar aturan colonial , melanggar aturan gubernur jendral nya .  Yaitu larangan mengambi tanah rakyat .

 

Adanya dualisme Hukum Pertanahan yang memberikan kesempatan bagi Warga Negara Asing untuk menguasai dan memanfaatkan tanah- tanah di Indonesia menyalahi apa yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Akan tetapi, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) pada tahun 1960, dualisme hukum pertanahan resmi berakhir, sebagaimana bunyi penjelasan umum angka II UUPA yang menyebutkan: “...hak-hak yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini semua akan dikonversi menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA”. Artinya, terhadap tanah dengan Hak Adat atau Hak atas Tanah menurut Buku II KUH Perdata wajib dilakukan penyesuaian dengan hak-hak atas tanah yang termuat dalam UUPA. Hal ini dilakukan agar tercipta unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia.1

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Kami tidak sependapat , dengan uraiannya terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dalam kasus Tanah dago ini . Hal tersebut hanya bias digunakan pada kasus lainnya dan atau hanya pada tergugat 334 ( atas nama dishub / terminal dago ) saja ( dan atau dengan tergugat 335 PT Pos / kantor pos Dago ) . Adapun pendapat kami karena semua pihak mendukung adanya alas Hak barat  utama nya tergugat utama dan jaringan nya . Sementara itu tergugat 88 ( atas nama Mina )  pun ikut serta . ( baca putusan perdata Pengadilan negeri hal 80 sd hal 89 ) . Adapun pihak tergugat 334 jelas menentang . sementara itu pihak 335 tidak berpendapat .

Perlu kami jelaskan alas hak barat Eigendome verponding dalam sengketa tanah dago ini ada berbagai versi . 1 simongan  dan 2 george Hendrik Muller dijadikan alas hak pihak penggugat . lalu versi simongan dan 3 Yayasan ema alias Ny Nini karim SH  . dan simongan dan seterusnya 4 Raminten cs

Kesimpulan nya pihak penggugat menggunakan dua versi yaitu Simongan dan George Hendrik Muller. Sementara itu pihak tergugat menggunakan tiga versi Simongan , Yayasan Ema dan Bu raminten cs . Jadi tergugat lebih banyak .

 

Sederhananya, konversi terhadap hak atas tanah itu adalah perubahan hak atas tanah yang lama menjadi hak atas tanah yang baru yang tercantum dalam UUPA, sehingga dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah atau menghasilkan Surat Tanda Bukti Hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.2 Akan tetapi, meski Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan aturan-aturan tentang konversi hak-hak atas tanah yang berasal dari hak barat, tetap saja pada kenyataannya tanah-tanah konversi masih sering menjadi sumber permasalahan pertanahan.


1 Adrian Sutedi, (2018). Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 125.

2 Ulfia Hasanah, (Februari 2012). “Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960”. Jurnal Ilmu Hukum, Volume. 2(No.2), hlm 202.


Sejak dahulu, permasalahan pertanahan sudah menjadi polemik di masyarakat. Hal ini terjadi karena peranan tanah yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga banyak orang berlomba-lomba dalam mempunyai dan menguasai tanah.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Kami sependapat. Perlu kami jelaskan , pendapat kami , Masyarakat awam ada umumnya , menganggap tanah sebagai bentuk fisik yang perlu dijaga dan di kelolah dan atau saling memberi manfaat .

Sementara itu aturan pemerintah ada hak yang melekat padanya yaitu terkait sertifikasi dan atau pendaftaran tanah . Pada dasar nya masyarakat awam tidak menolaknya .  Namun kadang terjadi kendali adalah rumit nya birokrasi dan semakin diperumit . Ini lah yang menjadi celah pihak yang ber itikad kurang baik .  sehingga pihak yang beritikad kurang baik ini akan memanfaat celah ini dengan berkolusi  dan atau  menyuap .

Perlu kami beri gambarannya .  Pada masyarakat awam . bila di ibarat kan anak . mereka cenderung berpedoman pada kenyataan fisik . Siapa yang melahirkan anak maka itu anak nya . Namun pemerintah juga ada aturan harus di buktikan adanya akte kelahiran . Dari sini ada celah yang dimanfaat ( ini hanya ibarat nya ) jadi siapa yang bisa membuat akte kelahiran (  sekalipun dengan kolusi ) maka pihak tersebut bisa jadi punya ha katas anak .

Hal semacam itu lah yang terjadi pada kasus tanah . kebanyakan jaringan mafia tanah lebih berfokus pada hak sertifikasi nya di banding hak fisiknya . Sehingga ada sekitar 30 tahun bahkan lebih ada tanah di timur Cirapuhan / dago elos terbengkalai fisik tanahnya . Bagi kelompok tertentu Tanah ( lebih tepat nya yang dimaksud surat tanah ) kadang hanya sebagai objek jualan dan atau objek agunan . Sehingga kadang surat keluar masuk bank dan atau berpindah pindah kepemilikannya namun fisik tanah nya terbengkalai . Bahkan ini juga banyak terjadi di kampung cirapuhan dengan adanya para sepekulan dan atau pihak macam iwan surjadi cs .

 

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, hingga tahun 2020 tercatat sebanyak 12.458 kasus pertanahan yang masuk ke BPN RI, yang terdiri dari 90,8% perorangan dengan perorangan, 4,4% perorangan dengan badan hukum, 2,5% masyarakat dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, 0,5% badan hukum dengan badan hukum, dan 1,8% antar kelompok masyarakat.3 Sedangkan berdasarkan data yang disediakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria, menyebutkan bahwa tahun 2020 adalah tahun perampasan tanah berskala besar, sebab yang terjadi adalah perampasan pertanahan yang difasilitasi oleh hukum dan disetir oleh modal.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Kami sependapat. Perlu kami tambahkan bahwa banyak juga boneka boneka oligarki itu di posisi tergugat |( dan sebagian lagi tidak ikut bersidang )

Jika diakumulasi sejak tahun 2015 hingga 2020 maka total kasus pertanahan sebanyak 2.288 kasus, tidak termasuk kasus yang bersifat individual, antar kelompok swasta, atau antar lembaga pemerintah.4 Dari sekian banyak kasus pertanahan, salah satu yang menjadi topik perbincangan di tahun 2022 adalah Kasus yang melibatkan Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Kami kurang sependapat ketika menyebutkan Dago elos .

 

Singkatnya Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller atau disebut sebagai Keluarga Muller, adalah keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda. Pada tahun 2016, Keluarga Muller bersama dengan PT Dago Inti Graha, sebuah perusahaan properti di Bandung, mengajukan gugatan dengan mengklaim tanah tersebut dengan kepemilikan Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 3742. Di atas tanah yang diklaim tersebut sekarang terdapat Kantor Pos, Terminal Dago, dan ditempati oleh rumah-rumah warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos yang berjumlah 335 orang.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : Kami kurang sependapat ketika menyebutkan Dago elos .  Dari sini pihak ini sudah mulai ada narasi pengalihan . disebutkan 335 di rw 02 Dago elos . Padahal ada 3 tergugat yang bukan  yaitu tergugat I an Didi Koswara , tergugat III atas nama alo Sana ( memang disebut dago elos namun tak disebutkan rw 02 ) dan Apud Sukendar sebagai tergugat IV . Tiga tergugat tersebut adalah warga kampung cirapuhan rw 01 bukan dago elos ( namun memang alo sana dalam berkas disebutkan Dago elos ) Kami akan menjelaskan nya kemudian .

Bahwa kemudian analis ini mengemukakan EV 3740 , 3741 dan 3742 . Narasi nya kemudian mengarah ke Rw 02 dan atau Dago elos . Perlu kami jelaskan 3740 dan 3741 seluas sekitar 1,9 ha memang identic dengan rw 02 . Sedangkan 3742 seluas sekitar 4,4 ha lebih diidentik di Kampung Cirapuhan rw 01 .

Pada sekitar tahun 1980 an ada pasar inpress di wilayah rw 02 kelurahan Dago . Itulah riwayat penambahan kata Elos yang artinya sekat sekat dan ruang pada pasar . Sehingga Dago Elos adalah pasar yang ada di wilayah rw 02 kelurahan Dago . Kami pertegas Dago elos hanya ada di Rw 02 .

Pasar inpress tersebut berlokasi di sebelah utara nya terminal Dago .  Kami siding  menjelaskan fakta siding terkait tergugat 334 mengemukakan objek 22.000 meter . Bahwa kemudian sekitar tahun 1980 an entah kesepakatan lisan , tertulis atau gimana . Bahwa pada bagian paling selatan adalah terminal Dago kemudian sebelah utara nya adalah pasar inpress . Kemudian warga di belakang nya ( disebelah timur terminal dan sebelah timur pasar inpres ) .

Namun entahe kenapa , pada intinya masih sepi .sehingga warga tidak bayar sewa yang kemudian Pemerintah mengalihkan objek pasar inpress ke suatu pihak ( pihak yang mengaku adalah darul hikam ) . Pada bagian belakang nya yaitu tercatat 57 warga dengan luas 5940 meter ( pada berkas rt rw 02 Dago elos tahun 1997 ) keterangan lurah 10.000 meter untuk 100 penggarap . 

Jadi sekitar 3.000 meter itu sebenarnya ada di kampung cirapuhan rw 01 . Namun ada suatu jaringan mafia tanah yang menjadi kan modus ini semakin mengacaukan keadaan yaitu mengubah kampung cirapuhan rt 07 rw 01 dan sekitar menjadi Dago elos rw 02 . Arti mengubah adalah mengubah nama lokasi , dan atau nama pihak dan atau mengubah administrasinya .

Jadi pada dasarnya tak ada Dago elos di rw 01 . Dago elos sendiri adalah wilayah bagian rw 02 . Jadi Dago elos tidak lebih luas dan atau tidak lebih dari rw 02 .  Tapi karena aksi oknum oknum tadi Dago elos di jadikan sarang aksinya dan atau modus nya . Bahkan ada ktp warga rw 01 yang di manipulasi jadi Dago elos . Pada intinya kami menjelaskan aksi mereka ini bertahap dalam mengubah dan atau melakukan aneksasi kampung cirapuhan .

 

Eigendom Verponding adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak barat yang menurut Undang-Undang Pokok Agraria, hak barat atas tanah tersebut harus dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya pada 24 Desember 1980 yaitu sejak UUPA berlaku.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : sudah kami jelaskan bahwa UUPA 1960 hampir tidak bisa dijadikan dalil dalam kasus ini kecuali oleh tergugat 334 ( dan atau dengan tergugat 335 )

 

Alih- alih melakukan kewajibannya dengan melakukan pencatatan ulang atas tanah yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Keluarga Muller memilih untuk menghilang dan kembali dengan membawa gugatan untuk para Warga Dago Elos dengan dasar perbuatan melawan hukum.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : sudah kami jelaskan bahwa pihak tergugat lebih dulu , dan sebelum itu terjadi paralelisasi aktivitas pihak penggugat dan tergugat beserta jaringannya  . Dan perlu kami tambahkan ada indicator interaksi pada sekitar tahun 2016 .

poin-poin terkait konflik Dago Elos 2016, yang menunjukkan adanya dugaan kolusi dan atau kerja sama antara penggugat dan tergugat utama. Berikut adalah isi poin-poin nya :

 

1. Dago Elos 2016

2. Ada Paralelisasi  waktu maka Gugatan atau Kolusi? – Menanyakan apakah gugatan itu murni atau sebenarnya kolusi.

3. Tergugat butuh dana nebus SHM 80 m – Tergugat menebus sertifikat hak milik seluas 80 meter.

( Data dari informasi masyarakat / copy berita berkas objek shm yang hendak dilelang )

 

4. Butuh 40 jt sd 200 jt –kisaran uang yang dibutuhkan, mungkin sebagai kompensasi atau transaksi.

( Data dari informasi masyarakat / copy berita berkas objek shm yang hendak dilelang )

5. Cirapuhan diubah Dago Elos – Kampung Cirapuhan rw 01 telah dan dilanjutkan diubah atau diklaim sebagai bagian dari Dago Elos rw 02 

6. Tergugat oper 15.000 m ke Deddy M Saad  – Ada pengalihan objek seluas 15.000 meter.

( Data dari informasi masyarakat / petugas veritikasi kantor PBB Bandung pada tahun 2017 yang menyebutkan sekitar tahun sebelum nya kejadian nya  )

Dari Sini ada dugaan jaringan ini memanfaat kan pihak di luar pihak yang berperkara . diduga untuk pembagian hasil alternative nya bila tergugat menang .

7. Jo Budi kasih 300 jt – Disebut ada pemberian uang Rp 300 juta dari Jo Budi.

( Data dari terkait putusan pengadilan negeri bandung kasus pidana )

8. Penggugat kuasai objek 220 m – Penggugat menguasai tanah seluas 220 meter.

( Data dari terkait putusan pengadilan negeri bandung kasus perdata )

 

9. Terkait objek 220 meter Penggugat Dari Budi Harley dari ke Asep Makmun – Ada aliran klaim atau transaksi dari Budi Harley ke Asep Makmun.

( Data dari informasi masyarakat  )

 

10. Muller ketemu Asep M – Muller bertemu dengan Asep Makmun.

( Data dari terkait putusan pengadilan negeri bandung kasus pidana )

 

11. Kuasa Raminten cs / H Syamsul Mapareppa sepakat dengan Asep Makmun cs – Ada kesepakatan antara dua kelompok ini.

( Data dari terkait putusan pengadilan negeri bandung kasus perdata )

 

12. Muller menggugat Asep M – Secara formal Muller menggugat Asep Makmun.

( Data dari terkait putusan pengadilan negeri bandung kasus perdata )

 

13. Iwan Suriadi cs, Apud cs aktif 2008 sd 2014/2015/2016 – Ada pihak lain yang juga aktif dalam kasus ini.

( Data dari informasi masyarakat dan terkait masjid Al hikmah  . dan juga surat dari pengacara Bob Nainggolan . terkait juga ajb dan shm 270 meter dan 868 meter  )

 

Keseluruhan poin ini menyiratkan bahwa ada dugaan kolusi antara penggugat dan tergugat utama dalam kasus sengketa tanah di Dago Elos 2016, termasuk adanya transaksi uang, pengalihan hak tanah, dan kemungkinan manipulasi status wilayah.

 

Hingga akhirnya, pada Agustus 2017, Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan tanah-tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah milik Keluarga


3 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (2021). Laporan Kinerja (LKj) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Tahun 2020. hlm. 13. Available from: https://www.atrbpn.go.id/unduh/laporanKinerja2020.pdf. [accessed September, 26, 2022]

4 Konsorsium Pembaruan Agraria. (2020). Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria Edisi Peluncuran 1:                     Laporan             Konflik            Agraria          di                       Masa  Pandemi  dan                      Krisis    Ekonomi. Available          from: http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4db26-catatan-akhir-tahun-kpa_peluncuran-1_laporan-konflik- agraria-2020.pdf. [accessed September, 26, 2022]


Muller dan memerintahkan agar warga dan pihak lainnya yang berkedudukan sebagai tergugat untuk meninggalkan lahan Dago Elos dan membayar biaya perkara yang jumlahnya sangat banyak yakni sebesar Rp 238.000.0000,00.

Tanggapan Muhammad Basuki Yaman Analisa pihak menganalisa kasus tanah Dago muller dkk  : kami duga Demikian lah scenario nya . Gugatan dan baba alat bukti pihak penggugat di atur sedemikian rupa sehingga di kondisikan ada korelasi yang tepat . Sementara itu eksepsi dan bab alat bukti pihak tergugat diduga sudah di kondisikan tumpang tindih . Bahkan bab alat bukti  dan atau riwayat nya tidak bersambung bahkan korelasi tergugat I dengan tergugat lainnya tak ada .

Sehingga diduga kuat sudah menjadi motif jaringan ini ( baik itu yang belum muncul siding maupun yang di posisi tergugat )  memberikan kemenangan pihak penggugat . Karena hasil  di dapat lebih besar dan lebih mudah membagi nya .

 

 

 

Merasa putusan tersebut tidak adil, Warga Dago Elos mengajukan banding atas putusan tersebut. Sayangnya, dalam Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Bandung pun menyatakan kepemilikan tanah-tanah yang objek sengketa tersebut tetap diberikan kepada Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha dan meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk memproses permohonan sertifikasi tanah-tanah tersebut yang sebelumnya sudah dimohonkan oleh PT Dago Inti Graha. Terhadap Putusan Tingkat Banding, Warga Dago Elos menempuh upaya kasasi. Bak gayung bersambut, Hakim Pengadilan Tingkat Kasasi menyatakan Keluarga Muller tidak berhak atas lahan Dago Elos dikarenakan tidak melakukan konversi atas Eigendom Verponding atas nama Kakeknya yang menyebabkan tanah tersebut menjadi Tanah Negara, sehingga warga Dago Elos dinyatakan sah untuk menduduki objek sengketa karena telah menguasainya dalam kurun waktu lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik, karena lebih berhak memiliki Hak atas Tanah tersebut. Akan tetapi, kebahagiaan tidak berlangsung lama, sebab di tengah-tengah pengajuan sertifikat oleh Warga Dago Elos kepada Kantor Pertanahan Kota Bandung, Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha mengajukan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, yang hasil akhirnya kembali memenangkan Keluarga Muller.

Dikatakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Bandung, putusan dalam kasus yang melibatkan Warga Dago Elos dengan Heri Hermawan Muller tersebut telah menginjak- injak kebenaran dan rasa keadilan Warga Dago Elos dan juga telah menghina hukum nasional.5 Selain daripada itu, putusan dalam kasus a quo pun seperti memotret ketidakcakapan Negara dalam menjalankan tugasnya dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Pada hakikatnya Menurut Franz Magnis Suseno, tujuan negara tersebut dapat diwujudkan melalui tiga hal, yaitu: (i) Negara memberikan perlindungan kepada para penduduk dalam wilayahnya; (ii) Negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan; serta (iii) Negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak- pihak yang berkonflik dan menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan sosial masyarakat.6 Artinya Negara mempunyai tugas untuk menjaga hukum yang berlaku dalam wilayahnya agar tetap dapat memberikan


5 LBH Bandung. (28 Februari 2018). Press Release: Pernyataan Sikap Warga Dago Elos dan Tamansari. Available from: http://www.lbhbandung.or.id/press-release-pernyataan-sikap-warga-dago-elos-dan-tamansari/.                               [accessed September, 26, 2022]

6 Franz Magnis Suseno, (2016). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

hlm. 317.


perlindungan, kemanfaatan, keadilan dan kepastian. Dengan demikian, sudah tepat kiranya pernyataan pada kalimat awal paragraf ini.

Lalu, dalam memutuskan suatu perkara, Hakim diwajibkan untuk mengadili sesuai dengan hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang agar dapat membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan yang ada.7 Lalu, Hakim pun harus dapat menyesuaikan undang-undang dengan perkembangan yang hidup di masyarakat hingga tercipta jalan keluar yang dapat diterima secara nalar.8 Dengan demikian, idealnya suatu putusan hakim itu harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 (tiga) unsur yaitu keadilan (gerechtigkeit),

kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).9 Akan tetapi,

dalam Putusan-putusan kasus Dago Elos, khususnya putusan yang dikeluarkan oleh Hakim tingkat Pertama, Banding dan Peninjauan Kembali menimbulkan banyak kejanggalan dan tidak mencerminkan adanya perlindungan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Hingga saat ini belum ada penelitian lain yang membahas mengenai analisis pertimbangan Hakim dalam kasus antara Keluarga Muller dan Warga Dago Elos. Namun, terdapat penelitian terdahulu yang memiliki unsur kemiripan dengan topik penelitian ini yaitu:

1.    Dian Aries Mujiburohman dengan judul “Legalisasi Tanah-Tanah Bekas Hak Eigendom (Kajian Putusan Nomor 17/Pdt.G/2014/PN.Pkl)”10 yang mengkaji bagaimana status hukum tanah bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 775a pasca putusan inkracht van gewijsde. Ditemukan bahwa tanah objek sengketa yang telah ditetapkan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara tidak serta merta

hapus hak atas tanahnya, karena hak keperdataan (kepemilikan) masih melekat pada pemegang hak. Cara menghapus hak keperdataan itu adalah dengan memberi ganti kerugian kepada pemegang hak.

2.    Rizma Marlina Gardini dengan judul “Tinjauan Yuridis Sengketa Penguasaan Tanah Eks Eigendom Verponding (Studi Kasus Putusan No.10/Pdt.G/2017/PN Ungaran)”11 dengan fokus kajian status hukum tanah eks RvE Verp. No. 2146 setelah putusan No. 10/Pdt.G/2017/PN Unr adalah tanah negara, dan oleh karena itu terdapat penguasaan dobel di atas tanah eks RvE Verp. No. 2146 obyek tanah P3MB maka untuk mengajukan permohonan Hak atas Tanah P3MB


7 Pasal 4 ayat (1) Jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

8 Edi Rosadi, (April 2016). “Putusan Hakim yang Berkeadilan”. Badamai Law Journal, Volume 1(Nomor 1), hlm. 383.

9 Ibid., hlm. 385.

10 Dian Aries Mujiburohman. (2021). “Legalisasi Tanah-Tanah Bekas Hak Eigendom (Kajian Putusan Nomor 17/Pdt.G/2014/Pn.Pkl). Jurnal Yudisial, Volume 14, (Nomor 1), hlm. 117-137.

11 Rizma Marlina Gardini. (2019). Tinjauan Yuridis Sengketa Penguasaan Tanah Eks Eigendom Verponding (Studi Kasus Putusan No.10/Pdt.G/2017/PN Ungaran. [Skripsi, Universitas Negeri Semarang]. Unnes Repository, http://lib.unnes.ac.id/36081/.


tersebut para pihak harus menyelesaikan terlebih dahulu permasalahannya dan menentukan siapa yang berhak atas tanah baik melalui forum non litigasi maupun litigasi.

Dengan memaparkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam putusan mengenai konversi tanah bekas hak-hak barat dan pendaftaran tanah, penulis ingin menegaskan bahwa terdapat perbedaan dengan penelitian yang penulis susun. Sebab apabila membandingkan dengan penelitian terdahulu, diketahui bahwa permasalahan hukum yang penulis angkat dalam penelitian ini menitikberatkan pada pertimbangan hakim pada Putusan PK/109/PDT/2022, sehingga kebaruan dalam penelitian ini adalah belum terdapat penelitian yang menganalisis pertimbangan hakim pada Putusan PK/109/PDT/2022 mengenai tanah bekas Eigendom antara Keluarga Muller dan Warga Dago Elos ditinjau berdasarkan UUPA dan UUD 1945.

Berdasarkan latar belakang di atas, diketahui bahwa penelitian ini bermaksud untuk menganalisis putusan Hakim dalam kasus antara Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller dalam sudut pandang UUPA serta undang-undang terkait. Dengan demikian, secara spesifik rumusan masalah yang akan dibahas adalah; (i) Bagaimanakah pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara a

quo?; dan (ii) Apakah pertimbangan Hakim sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan

yang berlaku dalam UUPA dan peraturan perundang-undangan terkait?

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini meliputi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Pertama, metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Sebagaimana pendapat Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk menemukan dan merumuskan argumentasi hukum melalui analisis terhadap pokok permasalahan.12 Kedua, spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yakni sebuah metode yang dipakai untuk memaparkan suatu keadaan yang berlangsung dengan tujuan dapat menjabarkan data mengenai objek penelitian secara teliti.13 Kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ketiga, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan atau data sekunder. Bahan-bahan pustaka yang digunakan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu:


12 Bachtiar, (2018). Metode Penelitian Hukum. Tangerang Selatan: UNPAM PRESS, hlm. 56.

13 Zainuddin Ali, (2009). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 223.


1.    Bahan hukum primer, ialah bahan-bahan hukum yang mengikat. Meliputi UUD 1945, UUPA, dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya yang mengatur mengenai Pendaftaran Tanah.

2.    Bahan hukum sekunder, ialah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer. Meliputi buku-buku hukum serta jurnal-jurnal maupun artikel hukum yang membahas mengenai pendaftaran tanah secara umum dan secara khusus pendaftaran Tanah Bekas Hak Barat.

3.    Bahan hukum tersier, ialah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Meliputi beberapa putusan yakni Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG, Putusan Mahkamah Agung Nomor 934/K/Pdt/2019, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pdt/2022, situs internet resmi, dan sebagainya.

Terakhir, analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif yang

bertujuan untuk mendapatkan kejelasan terhadap masalah yang dibahas dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur-literatur dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan objek penelitian.14 Dalam hal ini, penulis menganalisis pokok permasalahan mengenai sengketa kepemilikan Hak atas Tanah konversi bekas tanah Hak Barat. Kemudian, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus atau case approach. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah kasus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi, yang telah menjadi putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Objek kajian pokok dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan.15 Dalam penyusunan argumentasi oleh penulis untuk melakukan pemecahan isu hukum pada Putusan PK No.109/K/Pdt/2022, dilakukan berdasarkan pada referensi ratio decidendi atau reasoning tersebut.

 

PEMBAHASAN

Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pdt/2022

Putusan dengan nomor register 109 PK/Pdt/2022 adalah putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atas perkara antara Heri Hermawan Muller, Dodi Rustandi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha (Jo Budi Hartanto) sebagai Para Pemohon Peninjauan Kembali dengan Warga Dago Elos, Pemerintah Republik Indonesia c.q. Gubernur Provinsi Jawa Barat c.q. Camat Kecamatan Coblong


14 Ronny Hanitijo Soemitro, (1985). Metodologi Penulisan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 25.

15 Bachtiar, Loc. Cit.


c.q. Lurah Kelurahan Dago, Pemerintah Republik Indonesia c.q. Gubernur Provinsi Jawa Barat c.q. Camat Kecamatan Coblong, Pemerintah Republik Indonesia c.q. Gubernur Provinsi Jawa Barat c.q. Pemerintah Provinsi Jawa Barat c.q. Kepala Dinas Perhubungan

c.q. Kepala Terminal Dago, Kepala Kantor Pos dan Giro, dan Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kepala Badan Pertanahan Nasional c.q. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat c.q. Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali. Putusan a quo merupakan putusan keempat yang dikeluarkan oleh Pengadilan atas perkara yang sama, sehingga terdapat putusan lain yang dikeluarkan oleh Pengadilan atas perkara yang sama, yaitu Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg (selanjutnya disebut Putusan Tingkat Pertama), Putusan Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG (selanjutnya disebut Putusan Tingkat Banding), dan Putusan Nomor 934/K/Pdt/2019 (selanjutnya disebut Putusan Tingkat Kasasi).

Permasalahan antara Warga Dago Elos dan Keluarga Muller sudah berlangsung dari tahun 2016. Ketika itu, Keluarga Muller (Penggugat/Pemohon Peninjauan Kembali) mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Bandung terhadap Para Tergugat (Para Termohon Peninjauan Kembali) atas dasar perbuatan melawan hukum dan meminta Para Tergugat untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atasnya serta menyerahkan tanahnya secara sukarela kepada PT Dago Inti Graha. Berdasarkan keterangannya dalam Putusan Tingkat Pertama, Keluarga Muller menerangkan bahwa Ia adalah ahli waris dari George Hendrik Muller yang mempunyai tiga bidang tanah dengan luas 6,3 Ha di Blok Dago Elos, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, yang dibuktikan dengan Acte Van Eigendom

Verpondings Nummer 3740, 3741 en 3742 Aan George Hendrik Muller. Secara lengkap,

tiga bidang tanah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.    Sebidang tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, seluas 5.316 M2 (lima ribu tiga ratus enam belas meter persegi), yang terletak di : Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kecamatan Coblong, Kelurahan Dago, Blok berdasarkan Acte Van Eigendom atas nama George Hendrik Muller yang dikeluarkan oleh Raad Van Justitie Bandoeng Nomor 893/ 1934;

2.    Sebidang tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3741, seluas 13.460 M2

(tiga belas ribu empat ratus enam puluh meter persegi), yang terletak di: Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kecamatan Coblong, Kelurahan Dago, Blok berdasarkan Acte Van Eigendom atas nama George Hendrik Muller yang dikeluarkan oleh Raad Van Justitie Bandoeng Nomor 892/1934;

3.    Sebidang tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3742, seluas 44.780 M2 (empat puluh ribu tujuh ratus delapan puluh meter persegi), yang terletak di Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kecamatan Coblong, Kelurahan Dago, Blok


berdasarkan Acte Van Eigendom atas nama George Hendrik Muller yang dikeluarkan oleh Raad Van Justitie Bandoeng Nomor 891/1934.

Kemudian, atas tanah-tanah yang disebutkan di atas, dilakukan pengoperan dan penyerahan dari Keluarga Muller kepada PT Dago Inti Graha (Penggugat IV/Pemohon Peninjauan Kembali IV) yang dilakukan dihadapan Notaris pada 1 Agustus 2016, setelah itu PT Dago Inti Graha mengajukan permohonan pendaftaran sertifikasi kepada Kantor Pertanahan Kota Bandung atas tanah yang menjadi objek sengketa pada 5 Agustus 2016. Selain pengoperan dan penyerahan kepada PT Dago Inti Graha, Keluarga Muller menyebutkan tidak pernah mengalihkan tanah objek sengketa kepada pihak lain termasuk Para Tergugat. Lalu berdasarkan keterangan dalam Putusan Tingkat Pertama, diketahui bahwa PT Dago Inti Graha menguasai sebagian tanah yang termasuk dalam Tanah Negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3741. Sementara itu, di atas tanah yang sama berdiri rumah-rumah sebagai tempat tinggal Warga Dago Elos, Terminal Dago, dan juga Kantor Pos Kecamatan Coblong, dan atas rumah-rumah tersebut sudah didiami secara turun temurun dalam jangka waktu 30 sampai dengan 50 tahun dan sebagian besarnya telah diterbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan ataupun sertifikat Hak Milik. Oleh karena itu, objek dalam kasus a quo adalah Tanah Negara bekas

Eigendom Verponding yang berlokasi di Blok Dago Elos, Kelurahan Dago, Kecamatan

Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat. Keluarga Muller sebagai Penggugat menyatakan bahwa tanah-tanah tersebut adalah miliknya yang dibuktikan dengan Acte Van Eigendom Verpondings Nummer 3740, 3741 en 3742 Aan George Hendrik Muller.

Dalam kasus yang terjadi antara Keluarga Muller dan Warga Dago Elos terdapat empat putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG, Putusan Mahkamah Agung Nomor 934/K/Pdt/2019, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pdt/2022. Agar lebih terstruktur, berikut adalah rangkuman putusan Pengadilan Tingkat Pertama sampai dengan Tingkat Kasasi:

 

Putusan Pengadilan Negeri Bandung                             Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg

Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian; Menyatakan sah Penetapan Pengadilan Agama Kelas I A Cimahi tentang silsilah Keluarga Muller; Menyatakan sah dan berharga sita Hak Milik atas tanah-tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742; Menyatakan sah riwayat kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa; Menyatakan sah Acte Van Eigendom Verpondings Nummer 3740, 3741 en 3742 Aan George Hendrik Muller; Menyatakan sah pengoperan dan pemasrahan yang dilakukan oleh Keluarga Muller kepada PT Dago Inti Graha

;  Menyatakan  Para  Penggugat  berhak  mengajukan

                    permohonan hak kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota


 

 

Bandung; Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; Menghukum Para Tergugat untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atas tanah objek sengketa dan menyerahkannya dengan tanpa syarat kepada PT Dago Inti Graha; Menyatakan tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum sertipikat-sertipikat serta segala surat dan semua turunannya yang dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Dago; Menyatakan Kantor Pertanahan Kota Bandung yang berkedudukan sebagai Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap putusan dan segera melaksanakan proses sertifikasi dan/atau menerbitkan sertifikat atas nama PT Dago Inti Graha; dan Menghukum Para Tergugat untuk

membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.

Putusan Pengadilan Tinggi Bandung                             Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG

Memperbaiki Putusan Tingkat Pertama, dengan memutuskan tidak sah, tidak berharga, dan tidak mempunyai kekuatan hukum Sita Hak Milik atas tanah Negara bekas eigendom Verponding No. 3740, 3741 dan 3742. Selain daripada itu, Putusan Hakim Tingkat Banding menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor

454/PDT.G/2016/PN.Bdg.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 934/K/Pdt/2019

Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG yang memperbaiki Putusan Pengadilan                   Negeri                   Bandung                   Nomor

454/PDT.G/2016/PN.Bdg.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pdt/2022

Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 934/K/Pdt/2019 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG, dan mengadili kembali dengan menguatkan Putusan Pengadilan

Negeri Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg.

 

Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim Agung pada tingkat Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:

1.    Keluarga Muller yang menjadi Penggugat dalam tingkat pertama tidak melakukan konversi atas tanah-tanah milik Kakeknya, sehingga Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Maka siapapun berhak untuk mendapatkan Hak atas Tanah objek sengketa tersebut.

2.    Warga Dago Elos yang menjadi Tergugat dalam tingkat pertama mendalilkan bahwa mereka telah melakukan penggarapan di atas tanah objek sengketa. Tetapi tidak ada bukti formil yang sah yang dapat mendukung dalil tersebut.

3.    Adanya keterangan dari Lurah yang menyebutkan tidak ada satupun dari Warga Dago Elos sebagai penggarap atau penghuni tanah objek sengketa yang mengajukan permohonan hak atas objek sengketa.

4.    Adanya permohonan pendaftaran tanah yang diajukan oleh Keluarga Muller terhadap tanah-tanah sengketa.


5.    Keluarga Muller mempunyai alas hak yang lebih kuat dibandingkan Warga Dago Elos, sebab Keluarga Muller sebagai pemegang Hak atas Tanah negara bekas hak barat tersebut dapat membuktikan riwayat asal usul kepemilikan atas objek sengketa, sehingga Keluarga Muller adalah pihak yang lebih berhak mendaftarkan atas tanah objek sengketa.

 

Analisis Pertimbangan Hakim dalam Kasus Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller: Bagian Konversi dan Ketidaksesuaian nya dengan UUPA dan UUD 1945

Pertama-tama kiranya perlu diketahui bahwa konversi Hak atas Tanah merupakan perubahan Hak atas Tanah yang lama menjadi Hak atas Tanah yang baru yang tercantum dalam UUPA. Tujuannya untuk mewujudkan unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan sesuai dengan tujuan pembentukan UUPA. Oleh karenanya, tanah-tanah yang sebelum adanya UUPA tunduk pada Buku II BW ataupun tunduk pada Hukum Adat wajib dilakukan penyesuaian sesuai dengan ketentuan yang baru dalam UUPA. Dalam UUPA terdapat tiga bentuk konversi Hak atas Tanah, yaitu konversi Hak atas Tanah yang berasal dari tanah hak barat, konversi Hak atas Tanah yang berasal dari hak Indonesia, dan konversi Hak atas Tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja.16 Lalu, landasan hukum konversi Hak atas Tanah dalam UUPA termuat dalam Pasal I sampai dengan Pasal IX. Selain itu, pelaksanaan konversi Hak atas Tanah pun tunduk pada Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang Pokok, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas Tanah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Kegiatan yang dilakukan dalam konversi Hak atas Tanah adalah dengan melakukan pendaftaran tanah, sebab konversi bukanlah peralihan hak yang terjadi secara otomatis,17 tetapi dilakukan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan disertakan beberapa bukti.18 Lalu, terhadap tanah-tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan konversi Hak atas Tanah sampai dengan tanggal 24 September 1980 dan tidak ditetapkan sebagai tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah, statusnya berubah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.19 Kemudian, jika dikaitkan dengan Kasus yang terjadi antara Warga Dago


16 Ulfia Hasanah, Op. Cit., hlm. 205.

17 Ibid., hlm. 207.

18 I Made Setiana Sanjaya, dkk, (2021). “Akibat Hukum Konversi Hak atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”. Jurnal Analogi Hukum, Volume 3(Nomor 3), hlm. 285-286.

19 Salmi, (Desember 2015). “Konversi atas Tanah Hak Barat Suatu Tinjauan Yuridis”. Pleno De Jure, Volume 4(Nomor 5),

hlm. 61-62.


Elos dan Keluarga Muller diketahui bahwa tanah-tanah yang termasuk dalam Acte Van Eigendom Verpondings Nummer 3740, 3741 en 3742 Aan George Hendrik Muller (yang menjadi objek sengketa) adalah Tanah Negara bekas Hak Barat. Karena sampai jangka waktu yang ditetapkan yaitu 24 September 1980, George Hendrik Muller atau Keluarga Muller lainnya tidak ada yang mengajukan permohonan untuk melaksanakan konversi Hak atas Tanah yang dimilikinya menjadi hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA.

Pada dasarnya Tanah Negara terbagi menjadi dua, yaitu Tanah Negara Bebas dan Tanah Negara Tidak Bebas.20 Adapun yang dimaksud dengan Tanah negara tidak bebas adalah tanah-tanah yang sudah dihaki dengan suatu hak atau tanah-tanah yang sudah mempunyai hak-hak atas tanah primer seperti tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Usaha, tanah Hak Guna Bangunan dan lainnya dalam golongan hak-hak atas tanah, termasuk juga tanah-tanah Wakaf, tanah-tanah Hak Pengelolaan, tanah-tanah Hak Ulayat, tanah- tanah Kaum, tanah-tanah Kawasan Hutan.21 Sedangkan, Tanah Negara Bebas adalah tanah lainnya selain Tanah Negara Tidak Bebas. Dengan kata lain, terhadap tanah-tanah bebas tersebut belumlah ada yang menguasai dan mengakui hak atas tanahnya itu baik secara perorangan atau badan hukum,22 tetapi penguasaannya langsung oleh Negara. Tanah-tanah seperti inilah yang dalam praktik administrasi disebut dengan sebutan Tanah Negara.23 Dengan demikian, tanah-tanah yang menjadi objek sengketa terbagi menjadi dua, ada yang termasuk Tanah Negara Bebas dan Tanah Negara Tidak Bebas.

Tujuan dari dilaksanakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang Hak atas Tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Kepastian dan perlindungan hukum yang didapatkan oleh pemegang hak tersebut dibuktikan dengan adanya sertifikat hak atas tanah,24 sehingga adanya putusan yang demikian seperti tidak mempertimbangan adanya tanah-tanah yang bersertipikat tersebut. Sebab alasan dikatakannya sebagai Tanah Negara Tidak Bebas adalah karena di atas tanah-tanah yang menjadi objek sengketa terdapat tanah-tanah yang terdaftar dengan bukti sertifikat Hak Guna Bangunan ataupun sertifikat Hak Milik, yang mana sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Artinya selama tidak dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang

 

 

 


20 Hairan, (Juni 2008). “Pendaftaran Tanah dalam Sertipikat Hak Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”. Risalah Hukum, Volume 4(Nomor 1), hlm. 6.

21 Boedi Harsono, (2013), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, hlm. 272.

22 Hairan, Op. Cit., hlm. 8.

23 Boedi Harsono, Loc.Cit.

24 Reynaldi A. Dilapanga, (2017). “Sertifikat Kepemilikan atas Tanah Merupakan Alat Bukti Otentik Menurut Undang- Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960”. Jurnal Lex Crimen, Vol. VI (No. 5), hlm. 138.


tercantum dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang data yang tercantum sesuai dengan data dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.25

Selain daripada itu, adanya hak-hak atas tanah di atas tanah-tanah Negara menjadikan kewenangan Negara terhadap tanah tersebut menjadi terbatas, walaupun Negara mempunyai Hak Menguasai Negara atas Tanah (selanjutnya disebut HMN). Karena HMN adalah sebuah bentuk pelimpahan kewenangan dari Hak Bangsa Indonesia kepada Negara sebagai organisasi pada tingkatan yang tertinggi.26 Pelimpahan kuasa tersebut diperintahkan oleh wakil-wakil Bangsa Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Melalui kewenangan yang dimilikinya tersebut, Negara berkewajiban menjaga tanah-tanah tersebut dan berkewajiban secara aktif dalam mengusahakannya agar tetap memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.27 Menurut Achmad Rubaei tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil dan merata, sedangkan di sisi lain juga harus dijaga kelestariannya, sebab sebab tanah memiliki arti penting dalam kehidupan manusia.28 Oleh karena itu, wewenang Negara dalam HMN adalah sebagai berikut:

a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

b.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c.     Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dengan demikian, HMN merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik.29 Oleh karenanya dalam hal HMN, Negara bukanlah pemilik tanah yang sebenarnya dan juga bukanlah sebagai pemilik mutlak, karena Negara Republik Indonesia tidak memiliki kekuasaan dengan hak yang disebut right of eminent domain terhadap hak kepemilikan tanah rakyat-rakyatnya yang secara konstitusional adalah pemilik sebenarnya.30 Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, melalui HMN, Negara membagi macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan


25 Klaudius Ilkam Hulu, (2021). “Kekuatan Alat Bukti Sertifikat Hak Milik atas Tanah dalam Bukti Kepemilikan Hak”. Jurnal Panah Keadilan, Vol. 1(No. 1), hlm. 28.

26 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

27 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 232.

28 Achmad Rubaei, (2007). Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang: Bayumedia, hlm. 1.

29 Sigit Sapto Nugroho, Muhammad Tohari, dan Mudji Rahardjo, (2017). Hukum Agraria Indonesia. Solo: Kafilah

Publishing, hlm. 53.

30 Herman Soesangobeng, (2012). Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria. Yogyakarta: STPN Press, hlm. 231.


kepada orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama, yang mana dalam Penjelasan Umum UUPA diartikan bahwa hak-hak atas tersebut menjadi batasan kewenangan negara dalam hal HMN.31 Ketentuan tersebut oleh Boedi Harsono diartikan sebagai pembatasan yang diadakan oleh Negara bagi dirinya sendiri sebagai suatu negara hukum, sehingga konsekuensi yang timbul adalah Negara harus menghormati batas-batas yang ada, dengan cara tidak mengganggu penguasaan dan penggunaan tanah yang sudah diberikan olehnya kepada seseorang atau badan hukum.32 Adapun batas-batas yang dimaksud adalah hak-hak dasar yang berkaitan dengan hak atas tanah diatur dalam UUPA, yaitu:33 hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain, yang tidak termasuk hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.34 Maka apabila dikaitkan dengan kasus, terhadap tanah-tanah sengketa yang termasuk dalam Tanah Negara Tidak Bebas, tidak seharusnya Negara mengganggu penguasaan tanah-tanah tersebut, karena atas tanah-tanah tersebut telah diberikan hak-hak atas tanah oleh Negara berupa Hak Milik dan/atau Hak Guna Bangunan kepada Warga Dago Elos. Yang mana dengan alas hak-hak atas tanah tersebut pemilik hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (2) UUPA. Dengan demikian, pertimbangan Hakim Pengadilan Peninjauan Kembali yang menyebutkan bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan hak atas tanah objek sengketa

tersebut tidak sesuai dengan aturan dalam UUPA, tepatnya Pasal 4 ayat (1) dan (2).

Lebih lanjut, disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen Kedua bahwa Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara berwenang-wenang oleh siapa pun”. Dalam kasus ini, diketahui bahwa terdapat sebagian masyarakat yang sudah memiliki sertifikat atas tanah yang digugat oleh Keluarga Muller. Dalam putusan Peninjauan Kembali, Hakim Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan bahwa terdapat beberapa warga yang sudah memiliki

sertifikat atas sebagian tanah tersebut, hal ini bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen Kedua. Karena apabila melihat fakta, warga Dago Elos telah menduduki objek sengketa dalam kurun waktu yang lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik,35 sehingga Keputusan Peninjauan Kembali tersebut tidak memperhatikan bahwa adanya hak otentik untuk menguasai tanah tersebut.


31 Angka II Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

32 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 237.

33 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

34 Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berbunyi: “Hak- hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat”.

35 Putusan Nomor 109/PK/Pdt/2022, hlm. 63 para. 12.


Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen Kedua yang menyebutkan bahwa hak milik pribadi tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapa pun. Dengan begitu, pertimbangan hakim pada Putusan Nomor 109 PK/Pdt/2022 tidak sesuai dengan aturan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUPA serta Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

 

Analisis Pertimbangan Hakim dalam Kasus Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pendaftaran Tanah

Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang Tanah, Ruang atas Tanah, Ruang Bawah Tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang Tanah, Ruang atas Tanah, Ruang Bawah Tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.36 Pada pendaftaran tanah di Indonesia berlaku sistem pendaftaran hak atau registration of titles, yang tampak dengan adanya Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data fisik dan yuridis yang dihimpun dan disajikan serta adanya sertifikat yang berfungsi sebagai alat bukti hak yang didaftarkan.37 Untuk memenuhi kebutuhan pendaftaran tanah dengan sistem pendaftaran yang demikian, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997) menyediakan mekanisme pembuktian Hak atas Tanah terhadap hak-hak baru dan hak-hak lama. Adapun yang dimaksud dengan hak-hak baru adalah hak-hak yang baru diberikan atau diciptakan sesudah adanya PP No. 24 Tahun 1997, sedangkan hak-hak lama adalah hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang belum didaftar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.38

Kemudian, dalam hal pendaftaran tanah terhadap tanah bekas Hak Barat dapat dilakukan dengan pembuktian hak baru ataupun hak lama. Hal ini dimuat dalam PP No. 24 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 18 Tahun 2021). Adapun bunyi Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 adalah “untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai


36 Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

37 Boedi Harsono, Op. Cit., 477.

38 Ibid., hlm. 491.


adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”.39 Bunyi pasal tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya bukti kepemilikan terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlaku UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak dilakukan berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak.40 Apabila bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan dapat dilakukan dengan dua syarat, yaitu keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya dan penguasaannya tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan maupun pihak lainnya.41

Akan tetapi, ketentuan pembuktian hak lama tersebut diubah oleh Pasal 95 PP No. 18 Tahun 2021, sehingga alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.42 Pelaksanaan pendaftaran tanah bekas hak barat didasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui 2 (dua) orang saksi dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana. Adapun uraian dari surat pernyataan tersebut sebagaimana dimuat pada Pasal 95 ayat

(2) yaitu:43

1.    tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara bukan tanah bekas milik adat;

2.    tanah secara fisik dikuasai;

3.    penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; dan

4.    penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.

Kemudian, apabila dikaitkan dengan pertimbangan Hakim dalam kasus a quo yang menyebutkan bahwa adanya permohonan pendaftaran tanah yang diajukan oleh Keluarga Muller terhadap tanah-tanah sengketa, maka menurut Penulis, dalam memberikan pertimbangan hukumnya, Hakim tidak memperhatikan lebih lanjut mengenai peraturan-peraturan yang membahas mengenai pembuktian hak lama, yaitu ketentuan dalam Pasal 95 PP No. 18 Tahun 2021. Artinya dalam pemberlakuan


39 Pasal 24 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

40 Elza Syarief, (2014). Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 47.

41 Pasal 24 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

42 Pasal 95 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

43 Pasal 95 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.


pembuktian hak lama berlaku asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yang pada intinya meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lama dengan dikeluarkannya undang-undang (norma/aturan hukum) yang baru. Asas ini berlaku dalam kondisi norma hukum yang baru memiliki kedudukan yang sederajat atau lebih tinggi dari norma hukum yang lama.44 Maka terdapat ukuran yang pasti dalam menentukan peraturan mana yang merupakan peraturan baru dengan melihat waktu mulai berlakunya secara kronologis. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa sejak diberlakukannya PP No. 18 Tahun 2021 maka ketentuan yang berkaitan pembuktian hak lama yang dimuat pada Pasal 26 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, muncul pertanyaan terkait pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan ini yang sama sekali tidak memperhatikan asas lex

posterior derogat legi priori.

Dalam memutuskan suatu perkara, Hakim dalam pertimbangannya Putusan PK tersebut haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 95 ayat (2) PP No. 18 Tahun 2021 dengan melihat setiap unsur yang ada dalam ayat tersebut. Pertama, tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah yang diakui oleh Keluarga Muller dengan bukti Acte Van Eigendom Verpondings bukan dalam bentuk konversi hak atas tanah bekas barat sehingga statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Namun, tanah yang

dikuasai langsung oleh negara tersebut merupakan tanah negara tidak bebas dimana tanah objek sengketa sudah mempunyai hak-hak atas tanah seperti hak milik, hak guna bangunan yang dimiliki atas nama warga Dago Elos. Kedua, unsur dari tanah secara fisik dikuasai juga tidak dapat dibuktikan oleh Keluarga Muller dalam hal penguasaan secara fisik atas tanah objek sengketa. Itikad baik dari keluarga Muller juga dapat dikatakan tidak ada sejak Keluarga Muller tidak melakukan konversi atas tanah objek sengketa. Unsur terakhir yakni penguasaan tanah yang tidak dipermasalahkan oleh pihak lain, hal tersebut juga tidak dapat dipenuhi oleh Keluarga Muller sebagai pemohon Peninjauan Kembali dengan adanya warga Dago Elos sebagai pihak Termohon menentang pendaftaran tanah objek sengketa yang dilakukan oleh Keluarga Muller.

Kemudian, di sisi lain, terdapat fakta bahwa di atas tanah yang menjadi sengketa yang kemudian didaftarkan oleh Keluarga Muller/PT Dago Inti Graha telah diduduki oleh warga Dago Elos, Kantor Pos Kecamatan Coblong, dan juga Terminal Dago yang beberapa diantaranya kepemilikannya dilandasi oleh sertifikat Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Hal ini sejalan dengan rincian surat keterangan Badan Pertanahan Nasional pada Tahun 2000, tanah yang telah dianggap kosong adalah seluas 37.000 M2 dengan rincian yaitu:45 i) seluas 5.000 M2 dipergunakan untuk sarana umum seperti Terminal


44 Nurfaqih, (September 2020), “Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan

Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16(No. 3), hlm. 312.

45 Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, hlm. 45.


Dago, Kantor Pos dan Giro, serta Jalan Umum; dan ii) sisa seluas 32.000 M2 telah dihuni dan digarap oleh sebanyak 149 penghuni/penggarap secara berturut hingga pada saat perkara aquo diajukan telah berjumlah 274 pemegang hak garap dengan daftar normatif yang diketahui oleh Ketua RT dan RW maupun Lurah setempat. Dengan kata lain, di atas tanah objek sengketa telah dilakukan penetapan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung yang memberikan hak atas tanah objek sengketa untuk sarana umum dan kepada warga Dago Elos yang sudah menetap dalam kurun waktu yang lama dan secara terus menerus.

Lalu, apabila mengaitkannya dengan Pasal 23 PP No. 24 Tahun 1997 mengenai pembuktian hak baru, maka Warga Dago Elos mempunyai hak untuk melakukan pendaftaran tanah atas tanah-tanah objek sengketa yang sudah berstatus sebagai Tanah Negara. Bahkan menurut Hakim pada Putusan Kasasi, jika dibandingkan dengan Keluarga Muller/PT Dago Inti Graha, Warga Dago Elos mempunyai hak prioritas sebab Keluarga Muller/PT Dago Inti Graha atau para orang tuanya tidak menguasai tanah objek sengketa, sedangkan Warga Dago Elos melakukan penguasaanya secara nyata.46 Sebab untuk keperluan pendaftaran hak atas pemberian hak baru dilakukan dengan pembuktian, yang mana dalam Pasal 23 disebutkan bahwa hak atas tanah baru dibuktikan dengan; (i) Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan; dan (ii) Asli akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.47 Selain daripada itu, adanya program reforma agraria,48 maka sepatutnya Negara memberikan hak-hak atas tanah objek sengketa kepada warga Dago Elos yang telah menguasai tanah tersebut secara fisik. Oleh karenanya, pertimbangan hakim atas permohonan pendaftaran tanah dari Keluarga Muller yang mengeluarkan putusan yaitu meminta Kantor Pertanahan Kota Bandung untuk tunduk dan menerbitkan sertifikat atas nama Keluarga Muller itu tidak sesuai dengan rencana reforma agraria. Dikarenakan dalam putusan ini, Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha tidak mencerminkan tanah objek sengketa tersebut mempunyai fungsi sosial.


46 Putusan Nomor 934/K/Pdt/2019, hlm. 52.

47 Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

48 Reforma agraria adalah suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya. (Oswar Mungkasa, (2014). “Reforma agraria Sejarah, Konsep dan Implementasinya”. Buletin Agraria

Indonesia Edisi I, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Jakarta, hlm. 1.)


Lebih lanjut, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa yang menjadi objek sengketa dalam Kasus a quo adalah Terminal Dago dan Kantor Pos Kecamatan Coblong, yang mana kedua hal tersebut adalah fasilitas umum dan fasilitas sosial yang merupakan kepentingan umum. Dimana dalam pelaksanaan penataan ruang, kepentingan umum adalah salah satu hal yang dilindungi keberadaannya.49 Hal ini sejalan dengan pasal 6 UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang menjadi hak seseorang tidak dibenarkan semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi jika menimbulkan kerugian bagi masyarakat.50 Ketentuan tersebut mengandung asas fungsi sosial yang artinya kepentingan masyarakat Dago Elos, dan kepentingan individu Keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha berada pada posisi saling mengimbangi guna tercapainya kebahagiaan bagi semua pihak. Dalam putusan ini, sistem kepemilikan tanah pada tanah objek sengketa harus dipandang sebagai sarana berfungsi sosial dimana tidak ada kesewenangan pada sistem tanah.

 

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pelaksanaan konversi Hak atas Tanah dilakukan dengan pendaftaran tanah, diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan disertakan beberapa bukti. Selanjutnya, tanah-tanah yang tidak dilakukan konversi Hak atas Tanah sampai dengan tanggal 24 September 1980 dan tidak ditetapkan sebagai tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah, tanah tersebut dikuasai oleh negara. Sengketa tanah antara Warga Dago Elos dan Keluarga Muller termasuk dalam Acte Van Eigendom Verpondings

Nummer 3740, 3741 en 3742 Aan George Hendrik Muller (yang menjadi objek sengketa)

adalah Tanah Negara bekas Hak Barat. Namun, sampai tanggal 24 September 1980, George Hendrik Muller atau Keluarga Muller lainnya tidak ada yang mengajukan permohonan untuk melaksanakan konversi Hak atas Tanah yang dimilikinya menjadi hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA.

Apabila dihubungkan pada pertimbangan Hakim Pengadilan Peninjauan Kembali yang menyebutkan bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan hak atas tanah objek sengketa tersebut, maka terjadi ketidaksesuaian dengan aturan dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUPA. Hal ini dikarenakan di atas tanah-tanah yang menjadi objek sengketa terdapat

tanah-tanah yang terdaftar dengan bukti sertifikat Hak Guna Bangunan ataupun sertifikat Hak Milik, yang mana sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Hal ini juga dikuatkan oleh Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen Kedua yang menyatakan

 

 


49 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

50 N.H.T. Siahaan, (2004). Hukum Lingkungan dan Ekonomi Pembangunan Edisi. Jakarta: Erlangga, hlm. 191.


Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara berwenang-wenang oleh siapa pun”.

Pendaftaran tanah terhadap tanah bekas Hak Barat juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu dapat dilakukan dengan pembuktian hak baru ataupun hak lama. Apabila dikaitkan dengan pertimbangan Hakim dalam kasus a quo yang menyebutkan bahwa adanya permohonan pendaftaran tanah yang diajukan oleh Keluarga Muller terhadap tanah-tanah objek sengketa, maka Hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya tidak memperhatikan lebih lanjut mengenai peraturan- peraturan yang membahas mengenai pembuktian hak lama, sebagaimana telah terjadi perubahan dengan adanya ketentuan Pasal 95 PP Nomor 18 Tahun 2021. Artinya dalam pemberlakuan pembuktian hak lama berlaku asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yang tidak diperhatikan oleh Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum pada putusan ini. Apabila dihubungkan dengan reforma agraria, pendaftaran tanah oleh Keluarga Muller tersebut tidak mencerminkan adanya fungsi sosial dari tanah-tanah objek sengketa. Maka demikian, terdapat ketidakadilan bagi warga Dago Elos yang telah menduduki tanah objek sengketa serta telah memiliki pula Hak Milik dan Hak Guna Bangunan bagi sebagian tanah objek sengketa tersebut.

Oleh karena itu, saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu Hakim sebagai salah satu penegak hukum diharapkan dapat menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adrian Sutedi, (2018). Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika. Achmad Rubaei, (2007). Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang:

Bayumedia.

Bachtiar, (2018). Metode Penelitian Hukum. Tangerang Selatan: UNPAM PRESS.

Boedi Harsono, (2013), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Elza Syarief, (2014). Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Herman Soesangobeng, (2012). Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria.

Yogyakarta: STPN Press.

N.H.T. Siahaan, (2004). Hukum Lingkungan dan Ekonomi Pembangunan Edisi. Jakarta: Erlangga.

Ronny Hanitijo Soemitro, (1985). Metodologi Penulisan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.


Sigit Sapto Nugroho, Muhammad Tohari, dan Mudji Rahardjo, (2017). Hukum Agraria Indonesia. Solo: Kafilah Publishing.

Urip Santoso, (2010). Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

Zainuddin Ali, (2009). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Jurnal

Dian Aries Mujiburohman, (2021). “Legalisasi Tanah-Tanah Bekas Hak Eigendom (Kajian Putusan Nomor 17/Pdt.G/2014/Pn.Pkl). Jurnal Yudisial, Volume 14, (Nomor 1).

Edi Rosadi, (April 2016). “Putusan Hakim yang Berkeadilan”. Badamai Law Journal,

Volume 1(Nomor 1).

Hairan, (Juni 2008). “Pendaftaran Tanah dalam Sertipikat Hak Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”. Risalah Hukum, Volume 4(Nomor 1).

I Made Setiana Sanjaya, dkk, (2021). “Akibat Hukum Konversi Hak atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”. Jurnal Analogi Hukum, Volume 3(Nomor 3).

Klaudius Ilkam Hulu, (2021). “Kekuatan Alat Bukti Sertifikat Hak Milik atas Tanah dalam

Bukti Kepemilikan Hak”. Jurnal Panah Keadilan, Volume 1(Nomor 1).

Nurfaqih, (September 2020), “Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 16(Nomor 3).

Oswar Mungkasa, (2014). “Reforma agraria Sejarah, Konsep dan Implementasinya”. Buletin Agraria Indonesia Edisi I, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Jakarta.

Reynaldi A. Dilapanga, (2017). “Sertifikat Kepemilikan atas Tanah Merupakan Alat Bukti Otentik Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960”. Jurnal Lex Crimen, Volume VI (Nomor 5).

Salmi, (Desember 2015). “Konversi atas Tanah Hak Barat Suatu Tinjauan Yuridis”. Pleno De Jure, Volume 4(Nomor 5).

Ulfia Hasanah, (Februari 2012). “Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960”. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2(Nomor 2).

 

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

 

Sumber Lain

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (2021). Laporan Kinerja (LKj) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Tahun 2020. hlm. 13. Available from: https://www.atrbpn.go.id/unduh/laporanKinerja2020.pdf. [accessed September, 26, 2022].

Konsorsium Pembaruan Agraria. (2020). Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria Edisi Peluncuran 1: Laporan Konflik Agraria di Masa Pandemi dan Krisis Ekonomi. Available from: http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4db26-catatan-akhir-tahun- kpa_peluncuran-1_laporan-konflik-agraria-2020.pdf. [accessed September, 26, 2022].

LBH Bandung. (28 Februari 2018). Press Release: Pernyataan Sikap Warga Dago Elos dan Tamansari. Available from: http://www.lbhbandung.or.id/press-release- pernyataan-sikap-warga-dago-elos-dan-tamansari/. [accessed September, 26, 2022].

Putusan Nomor 109/PK/Pdt/2022. Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg. Putusan Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG. Putusan Nomor 934/K/Pdt/2019.

Rizma Marlina Gardini. (2019). Tinjauan Yuridis Sengketa Penguasaan Tanah Eks Eigendom

Verponding (Studi Kasus Putusan No.10/Pdt.G/2017/PN Ungaran. [Skripsi, Universitas Negeri Semarang]. Unnes Repository, http://lib.unnes.ac.id/36081/.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Isi

Domein verklaring

Analisa Modus Mafia Tanah Saling Gugat