kejanggalan kasus tanah dago
Kejanggalan kasus Tanah Dago , 2 versi kejanggalan , versi kampung Cirapuhan dan Versi Dago Elos , catatan penting kedua versi ini sangat berbeda substansinya akar masalahnya yang satu gugatan yang lainnya kolusi saling gugat
Kejanggalan kasus Tanah Dago , artikel ini memuat versi kampung cirapuhan yang mana para penggugat dengan tergugat utama berkolusi , sedang versi dago elos , gugatan muller . ( oleh versi cirapuhan di bantah bahwa tak ada gugatan muller yang ada kolusi gugatan muller dengan para tergugat utama
dua versi besar konflik tanah Dago: versi Kampung Cirapuhan dan versi Dago Elos. Untuk memperjelas kejanggalan dan membedakan narasi keduanya, berikut ini rangkuman naratif yang bisa digunakan untuk dokumenter, artikel investigatif, atau kampanye publik:
---
⚖️ Kejanggalan Kasus Tanah Dago: Dua Versi, Satu Jaringan?
🧩 Versi Kampung Cirapuhan: Kolusi Saling Gugat
Warga Kampung Cirapuhan menyebut bahwa konflik tanah Dago bukanlah gugatan murni, melainkan rekayasa kolusi saling gugat. Kejanggalan yang mereka soroti antara lain:
- Tergugat utama dan Bu Raminten cs sudah siap sebelum gugatan diajukan, menunjukkan adanya skenario yang telah dirancang.
- Penggugat tidak bisa mendata para tergugat tanpa bantuan dari tergugat utama—indikator kuat adanya kerja sama.
- Aktivitas paralel antara penggugat dan tergugat utama memperkuat dugaan bahwa mereka berada dalam satu jaringan.
- Versi Dago Elos dianggap satu jaringan dengan Muller, karena sama-sama menggunakan dokumen kolonial dan strategi hukum yang serupa untuk menguasai tanah.
Menurut warga Cirapuhan, ini bukan konflik antara warga dan ahli waris, melainkan skenario mafia tanah yang melibatkan pihak luar, oknum aparat, dan manipulasi administratif.
> “Ini bukan gugatan. Ini panggung. Dan kami hanya dijadikan latar belakang.” — narasi warga Cirapuhan
---
🧾 Versi Dago Elos: Perlawanan terhadap Klaim Kolonial
Versi Dago Elos menyoroti kejanggalan dalam proses hukum dan dokumen kolonial yang digunakan oleh keluarga Muller:
- Klaim atas Eigendom Verponding dianggap tidak sah karena tidak dikonversi sebelum 1980, sehingga tanah seharusnya menjadi Tanah Negara.
- Putusan kasasi (2019) sempat memenangkan warga, namun PK (2022) mengembalikan kemenangan kepada Muller secara kontroversial.
- Warga memiliki bukti pembayaran PBB, namun kalah karena tidak memiliki sertifikat resmi.
- Muller bersaudara akhirnya divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti memalsukan dokumen.
Meski versi ini tampak sebagai perjuangan melawan warisan kolonial, warga Cirapuhan menilai bahwa Dago Elos dan Muller berada dalam satu jaringan, karena strategi hukum dan aktor yang terlibat saling beririsan.
---
🔍 Kesimpulan
Kedua versi menyuarakan perlawanan terhadap perampasan tanah. Namun versi Kampung Cirapuhan mengungkap lapisan yang lebih dalam: bahwa konflik ini bukan hanya soal gugatan, tapi soal skenario kolusi yang dirancang untuk melegitimasi penguasaan tanah secara sistemik.
Jika versi Dago Elos menyoroti ketidakadilan hukum, maka versi Cirapuhan membongkar modus mafia tanah yang menyusup ke dalam proses hukum itu sendiri.
untuk itu bisa periksa versi Kampung Cirapuhan dan atau versi Dago elos
Pernyataan Warga Kampung Cirapuhan: Menyerukan Keadilan Melalui Lembaga Tinggi Negara
Kami, warga Kampung Cirapuhan, telah menyurati dua dari tiga lembaga tertinggi negara:
1. Presiden Republik Indonesia selaku Panglima Tertinggi — yang dalam sistem presidensial adalah inti dan jantung pemerintahan;
2. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, melalui berbagai komisi, fraksi, dan anggota yang memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya hukum dan administrasi negara.
Langkah ini kami tempuh karena kami yakin bahwa dalam sistem negara hukum, salah satu lembaga tinggi negara dapat melakukan koreksi atau penghentian terhadap tindakan lembaga tinggi lainnya, terutama bila ditemukan ketidakadilan, manipulasi, atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum.
Yang kami perjuangkan bukan hanya soal tanah, melainkan menyangkut sejarah, adat, budaya, identitas masyarakat, dan nilai-nilai keadilan dasar. Kami juga telah mengirim surat kepada Ketua Komisi III DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM, karena kami melihat bahwa sistem hukum yang ada saat ini justru telah dimanfaatkan oleh oknum untuk menjalankan modus mafia tanah, yang memanfaatkan celah hukum dan melemahkan posisi warga.
Kami tidak bermaksud memanipulasi hukum. Justru kami ingin mengembalikan hukum pada roh konstitusionalnya, yaitu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Makam leluhur, rapat warga, dan dokumentasi sejarah kami adalah bukti hidup bahwa Kampung Cirapuhan memiliki dasar hukum, budaya, dan historis yang sah untuk dipertahankan.
Kami menuntut adanya keputusan bijaksana dari lembaga tertinggi negara untuk menghentikan atau mencabut proses hukum yang cacat dan sarat rekayasa ini.
Pernyataan Sikap Komunitas Adat Kampung Cirapuhan RW 01
Menolak Penggusuran Sistematis dan Menuntut Pengakuan Sejarah Leluhur
Kami, masyarakat adat Kampung Cirapuhan RW 01, menyampaikan pernyataan sikap ini sebagai bentuk penolakan terhadap upaya penggusuran sistematis yang dilakukan melalui gugatan hukum oleh PT Dago Inti Graha atas nama keluarga Muller, serta manipulasi administratif yang mencatut nama “Dago Elos” sebagai dasar legalitas.
1. Akar Sejarah yang Sah dan Terverifikasi
- Kampung Cirapuhan memiliki akar sejarah yang panjang, jauh sebelum kemunculan istilah “Dago Elos” pada tahun 1980-an.
- Kelompok kami adalah kaum panyeupuhan —penempa besi, petani, dan pekerja—pada masa kolonial mereka yang tinggal di wilayah yang saat ini adalah area Dago Bengkok, Dago Pakar, Cigadung, Cipaheut, dan sekitarnya. Pada akhir nya nama warisan itu melekat dan menjadi pewaris adalah Kampung Cirapuhan
- Mereka berkontribusi dalam pembangunan rel kereta Bandung–Purwakarta ( sekitar tahun 1880 an ) , Gua Belanda ( sekitar tahun 1910 an ) , dan PLTA Dago Bengkok ( sekitar tahun 1920 an )
- Bukti fisik berupa makam tua keluarga nawisan menunjukkan keberadaan dan kesinambungan komunitas adat kelompok kami secara turun-temurun.
2. Penolakan terhadap Manipulasi Legalitas
- Dokumen kolonial seperti Eigendoms Verponding No. 3742 dan 6467 yang digunakan sebagai dasar gugatan telah kadaluarsa dan bukan hanya tidak sah menurut Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Namun pembuatannya sendiri tidak sah .
- Penambahan kata “Elos” dalam dokumen pertanahan tidak memiliki dasar historis maupun administratif yang sah. Elos berasak dari kata bidak di pasar program tahun 1980 an .
- Gugatan hukum yang menyebut “Dago Elos” sebagai objek sengketa adalah bentuk manipulasi identitas wilayah yang merugikan masyarakat RW 02 dan RW 01 . yang mana rw 01 ada Kampung Cirapuhan .
3. Kekosongan Subjek dalam Proses Hukum adalah catat hukum
- Pernyataan Menteri ATR/BPN bahwa “menunggu keputusan sidang” menjadi tidak relevan jika tidak ada subjek hukum yang aktif: DPR tidak hadir, hakim tidak jelas, presiden tidak ada , dan BPN tidak tak ada. ini adalah pola yang sama dengan menghilangkan unsur Subjek pada kata ` Panyeupuhan ` ( Cirapuhan )
- Kami mempertanyakan:Siapa yang sebenarnya Menunggu ( ` Dago ` ) ? Bagaimana bisa ada kata predikat ` Dago ` tanpa ada Subjek ` Cirapuhan ` Sehingga adalah hal yang tak masuk logika baik dalam bahasa maupun sejarah . Ada ` Dago ` yang artinya menunggu sementara orang ( subjek ) tak ada ( Tijrapuhan tak ada )
Hakim Memutuskan sengketa Tanah Dago ( yang dalam perkara ada di Dago elos dan atau rw 02 . Ada lah cacat hukum dari sisi riwayat Sejarah . Bahwa Dago berasal dari Kata Na Dago an yang artinya menunggu sementara yang dimaksud subjeknya adalah panyeupuhan . Namun ketika Tanah Dago menjadi pokok perkara yang hendak di ambil keputusan nya maka hanya rw 02 dan atau Dago elos dengan meninggal kan Kampung cirapuhan atau rw 01 . Kecacatan nya adalah jangan kan sengeketa pada tanah skala kecil . Pada skala besar yaitu kelurahan Dago akan tak ada . Karena adanya kelurahan yang bernama identik dengan predikat ( Dago ) dilatar belakangi adanya subjek ( Cirapuhan / Panyeupuhan / Cipanyeupuhan )
4. Penegasan Identitas Lokal masa tahun sebelum 1900 atau sekitar tahun 1800 dan atau sebelumnya
- “Dago” berarti “menunggu” dalam bahasa Sunda. Tanpa subjek, kata itu kehilangan makna.
- “Cirapuhan” berasal dari kata Ci (sungai) dan panyeupuhan (penempa besi), merujuk pada kaum Cipanyeuhan—pribumi yang tinggal di pinggir sungai di atas bukit dan menunggu hasil bumi.
- Kampung Cirapuhan bukan hanya nama, tapi identitas, sejarah, dan warisan budaya yang sah dan hidup.
5. Tuntutan Kami
- Menolak segala bentuk penggusuran atas nama legalitas kolonial.
- Menuntut pengakuan resmi atas keberadaan dan hak masyarakat adat Kampung Cirapuhan.
- Mendesak DPR, Presiden, dan BPN untuk turun tangan secara aktif dan adil.
- Meminta penghentian manipulasi administratif yang mencatut nama “Dago Elos” sebagai dasar gugatan.
---
Kami tidak hendak mendiskreditkan warga RW 02 atau Dago Elos. Namun, kami menolak dijadikan korban dari konflik legal yang tidak berakar pada sejarah dan keadilan. Kampung Cirapuhan adalah warisan leluhur yang harus dijaga, bukan dihapus.
Komentar
Posting Komentar