untuk dikirim kepada lembaga negara seperti DPR RI, Kementerian ATR/BPN, Kemenkumham, atau bahkan kepada Presiden Republik Indonesia. Surat ini mencerminkan sikap tegas, berlandaskan sejarah, dan mengedepankan keadilan sosial:
---
KAMPUNG CIRAPUHAN RW 01
Kecamatan Coblong, Kota Bandung
Bandung, Jawa Barat
Nomor: 01/CIRAPUHAN/IX/2025
Perihal: Permohonan Peninjauan dan Pembatalan Sengketa Tanah Dago Elos
Lampiran: Bukti pendukung dan surat kuasa masyarakat
Kepada Yth.
Bapak/Ibu Pimpinan Lembaga Tinggi Negara
di Tempat
Dengan hormat,
Kami, masyarakat adat Kampung Cirapuhan RW 01, menyampaikan surat ini sebagai bentuk permohonan dan seruan keadilan atas sengketa tanah yang terjadi di wilayah kami, yang saat ini dikenal secara administratif sebagai Dago Elos RW 02.
1. Bukan Konflik Antar Warga, Melainkan Manipulasi Sistematis
Kami tegaskan bahwa ini bukan perebutan lahan antara warga Kampung Cirapuhan dan warga Dago Elos. Justru, warga Kampung Cirapuhan tidak pernah mengklaim wilayah RW 02. Namun, terdapat oknum yang pernah tinggal di Kampung Cirapuhan lalu pindah ke RW 02, dan bersama pihak luar, diduga melakukan manipulasi administratif dan intimidasi terhadap hak warga RT 07 RW 01.
2. Modus Kolusi Gugatan Saling Gugat
Modus yang terjadi bukan sekadar gugatan hukum, melainkan rekayasa saling gugat antara penggugat dan tergugat utama. Gugatan oleh pihak Muller CS diarahkan ke objek tanah yang berada di Kampung Cirapuhan, namun dimanipulasi seolah-olah berada di Dago Elos RW 02. Hal ini dilakukan melalui penerbitan SHM dengan luas berbeda-beda (80 m², 270 m², 868 m², 15.000 m²), serta penggunaan istilah “wakaf” yang diduga sebagai kedok suap.
3. Pemetaan Wilayah dan Klaim Verponding
- RW 02 Dago Elos mencakup ±19.000 m², identik dengan eigendoms verponding No. 3740 dan 4741.
- Laporan Dinas Perhubungan menyebut objek seluas ±22.000 m², di mana ±3.000 m² berada di RT 07 RW 01.
- Kampung Cirapuhan terdampak atas ±50.000 m², berkorelasi dengan eigendoms verponding No. 3742 (4,4 ha) dan 6467 (0,6 ha).
4. Permohonan Kami
Dengan ini, kami memohon kepada Bapak/Ibu untuk:
- Membatalkan gugatan tanah Dago Elos tahun 2016 demi hukum, karena cacat prosedural dan manipulatif.
- Melibatkan ahli bahasa Sunda dan sejarawan lokal dalam proses hukum, mengingat nama “Dago” berarti menunggu, dan tidak mungkin ada “Dago” tanpa subjek sejarah yaitu panyeupuhan (Cirapuhan).
- Melindungi hak masyarakat adat Kampung Cirapuhan RW 01, yang telah menjaga wilayah ini secara turun-temurun dan memiliki bukti sejarah berupa makam tua keluarga nawisan.
- Menindak tegas oknum yang menjadikan Dago Elos RW 02 sebagai sarang mafia tanah, dengan modus gugatan saling gugat dan manipulasi identitas wilayah.
Demikian surat ini kami sampaikan sebagai bentuk permohonan dan seruan keadilan. Kami percaya bahwa hukum di Republik Indonesia berdiri atas dasar kebenaran, sejarah, dan hak asasi manusia.
Atas perhatian dan kebijaksanaan Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan RW 01
Muhammad Basuki Yaman
Beserta Tokoh Adat dan Warga RT 07 RW 01
Banyak yang mengira ini adalah konflik horizontal antar warga Kampung Cirapuhan dan Dago Elos, padahal inti masalahnya jauh lebih kompleks dan sistemik. Mari saya bantu rangkum dalam bentuk publikasi opini yang bisa digunakan untuk media atau forum advokasi:
---
๐ฐ Bukan Konflik Antar Warga: Sengketa Tanah Dago Adalah Modus Kolusi Mafia Tanah
Oleh: Komunitas Adat Kampung Cirapuhan RW 01
Ketika publik mempertanyakan apakah sengketa tanah Dago Elos adalah perebutan lahan antara warga Kampung Cirapuhan dan warga Dago Elos, kami tegaskan: bukan itu persoalannya. Ini bukan konflik antar warga, melainkan modus kolusi mafia tanah yang menyasar wilayah Kampung Cirapuhan melalui manipulasi administratif dan gugatan hukum yang direkayasa.
๐ Pemetaan Wilayah dan Klaim Verponding
- Wilayah RW 02 yang kini disebut Dago Elos mencakup sekitar 19.000 meter atau 1,9 hektar, hampir identik dengan eigendoms verponding No. 3740 dan 4741.
- Laporan Dinas Perhubungan menyebut objek seluas 22.000 meter, di mana sekitar 3.000 meter berada di RT 07 RW 01 Kampung Cirapuhan.
- Kampung Cirapuhan sendiri terdampak sengketa atas lahan sekitar 50.000 meter atau 5 hektar, yang berkorelasi dengan eigendoms verponding No. 3742 (4,4 hektar) dan 6467 (0,6 hektar).
⚠️ Modus Kolusi dan Manipulasi Identitas Wilayah
- Warga Kampung Cirapuhan tidak mengakui keabsahan verponding kolonial, namun menggunakannya sebagai referensi peta untuk menunjukkan wilayah yang dimanipulasi.
- Sejak lama, oknum warga yang pernah tinggal di Kampung Cirapuhan lalu pindah ke Dago Elos RW 02 diduga bekerja sama dengan pihak luar untuk:
- Mengintimidasi dan menghalangi hak warga RT 07 RW 01.
- Menerbitkan berbagai SHM dengan luas berbeda-beda (80 m², 270 m², 868 m², 15.000 m²).
- Mengubah nama wilayah menjadi “Dago Elos” dan menyisipkan istilah “wakaf” yang diduga sebagai kedok suap.
๐งฉ Modus Gugatan Saling Gugat
- Ketika upaya penguasaan belum berhasil sepenuhnya, jaringan mafia tanah menggunakan strategi saling gugat:
- Daftar warga Dago Elos RW 02 dan simpatisan diberikan kepada penggugat Muller CS.
- Gugatan diarahkan ke objek yang sebenarnya berada di Kampung Cirapuhan.
- Setelah digugat, objek tersebut akan dijadikan dasar kerjasama baru untuk memperluas penguasaan lahan dan memperkuat legitimasi atas tanah yang telah direbut.
๐ก️ Pernyataan Tegas dari Kampung Cirapuhan
Koordinator pertanahan Kampung Cirapuhan, Muhammad Basuki Yaman, menegaskan bahwa:
> “Versi Kampung Cirapuhan RW 01 tidak merugikan warga RW 02 Dago Elos. Yang kami adukan adalah oknum-oknum yang menjadikan Dago Elos RW 02 sebagai sarang mafia tanah dengan modus gugatan Muller.”
Objek warga Dago Elos RW 02 tetap menjadi urusan mereka dengan pemerintah. Namun, objek di Kampung Cirapuhan yang dimanipulasi menjadi bagian dari Dago Elos RW 02 adalah inti dari pengaduan kami. Ini bukan soal konflik horizontal, tapi soal penghapusan identitas wilayah dan kolusi hukum.
Kampung Cirapuhan: Di Antara Nama yang Diubah dan Tanah yang Direbut
Di balik sengketa tanah yang kini dikenal sebagai kasus Dago Elos, ada cerita yang lebih dalam—cerita tentang sebuah kampung tua bernama Cirapuhan, yang perlahan dihapus dari peta hukum, dari dokumen negara, dan dari ingatan publik.
Kampung Cirapuhan bukan sekadar titik geografis. Ia adalah tempat tinggal para panyeupuhan —penempa besi, petani, dan pekerja yang sejak masa kolonial telah membentuk identitas wilayah di atas bukit, di pinggir sungai, di antara hutan dan rel kereta yang mereka bangun sendiri. Mereka bukan pendatang. Mereka adalah subjek sejarah.
Namun sejak tahun 1980-an, nama Cirapuhan mulai digeser. Wilayah RW 02 yang dulunya bagian dari kampung ini, mulai disebut sebagai “Dago Elos.” Nama baru ini muncul bersamaan dengan pembangunan pasar inpres dan pergeseran administratif. “Dago” berarti menunggu dalam bahasa Sunda. Tapi siapa yang ditunggu? Tanpa subjek, kata itu kehilangan makna. Dan subjek itu adalah Cirapuhan.
Warga Kampung Cirapuhan tidak pernah mengklaim tanah RW 02. Mereka tidak mempersoalkan hak warga Dago Elos. Yang mereka persoalkan adalah penghapusan identitas. Ketika tanah mereka—RT 07 RW 01—dimanipulasi menjadi bagian dari Dago Elos RW 02, ketika SHM diterbitkan atas nama lain, ketika gugatan hukum diarahkan ke wilayah yang bukan milik penggugat, maka yang terjadi bukan sengketa biasa. Yang terjadi adalah modus kolusi saling gugat.
Oknum yang pernah tinggal di Cirapuhan, lalu pindah ke RW 02, diduga bekerja sama dengan pihak luar. Mereka membuat daftar warga RW 02 dan menyerahkannya kepada penggugat Muller CS. Gugatan pun dilayangkan, bukan untuk menyelesaikan konflik, tapi untuk melegitimasi penguasaan tanah yang telah direbut secara sistematis. Lapangan bola atas, lapangan bola bawah, kebun, bahkan makam tua keluarga nawisan—semua menjadi objek yang diperebutkan.
Warga Cirapuhan tidak diam. Mereka berkirim surat kepada Presiden, DPR, dan Kemenkumham. Mereka menyusun petisi, mengumpulkan bukti, dan menyuarakan bahwa ini bukan hanya soal tanah. Ini soal sejarah, budaya, dan hak asasi manusia. Mereka tidak menolak hukum. Mereka menolak hukum yang dimanipulasi.
Koordinator pertanahan Kampung Cirapuhan, Muhammad Basuki Yaman, menegaskan:
> “Versi Kampung Cirapuhan RW 01 tidak merugikan warga RW 02 Dago Elos. Yang kami adukan adalah oknum-oknum yang kampung cirapuhan rw 01 menjadikan Dago Elos RW 02 sebagai sarang mafia tanah.”
Di tengah proses hukum yang terus bergulir, satu hal tetap jelas: tidak mungkin ada Dago tanpa Cirapuhan. Tidak mungkin ada predikat tanpa subjek. Tidak mungkin ada keadilan tanpa sejarah.
jawaban singkat buat yang nanya soal beda versi Dago Elos sama Kampung Cirapuhan:
1. Ini bukan perebutan lahan antar warga Cirapuhan (RW 01) dan Dago Elos (RW 02).
2. Wilayah RW 02 Dago Elos sekitar 1,9 hektar, hampir sama dengan lahan Eigendom Verponding nomor 3740 dan 4741 yang diklaim Muller.
3. Kampung Cirapuhan (RW 01) punya wilayah sekitar 5 hektar yang hampir sama dengan Eigendom Verponding nomor 3742 dan 6467, dan mereka gak mengakui klaim Eigendom Verponding tapi dampaknya kena sengketa ini.
4. Warga Cirapuhan dan Dago Elos umumnya gak punya masalah antar sesama, tapi ada oknum yang pernah tinggal di Cirapuhan pindah ke Dago Elos, lalu kolusi dengan pihak luar dan oknum lain buat intimidasi dan manipulasi surat-surat lahan di Cirapuhan agar masuk wilayah Dago Elos yang bermasalah.
5. Akibatnya, oknum-oknum itu jadi sarang mafia tanah saling gugat antar pihak dan memperluas penguasaan tanah ilegal.
6. Koordinator pertanahan Cirapuhan menegaskan versi mereka gak merugikan warga Dago Elos, yang jadi masalah adalah manipulasi oknum-oknum tertentu yang merusak kedua belah pihak.
Jadi sederhana: Sengketa itu bukan perebutan antar warga dua kampung, tapi soal mafia tanah yang memanfaatkan oknum-oknum dari kedua kampung untuk menguasai lahan. Cirapuhan minta pemerintah bantu lindungi hak mereka yang selama ini terintimidasi dan haknya dihalang-halangi.
- Mengubah nama wilayah dari Cirapuhan rt 07 rw 01 jadi Dago Elos rw 02
- Menggunakan istilah wakaf dan hibah sebagai kedok
- Diduga melibatkan suap dan intimidasi
- Ketika gagal menguasai total, oknum ini bekerja sama dengan penggugat (Muller cs):
- Memberikan daftar warga RW 02 sebagai pengalihan isu
- Menyusupkan objek kampung Cirapuhan ke dalam gugatan
- Lalu akan "kerja sama" lagi setelah proses hukum selesai untuk memperluas penguasaan.
---
๐️ Pernyataan Koordinator Pertanahan Cirapuhan:
Muhammad Basuki Yaman menegaskan:
> “Versi Kampung Cirapuhan RW 01 tidak merugikan warga RW 02 Dago Elos. Objek di RW 02 adalah urusan mereka dengan negara. Namun kami menolak ketika tanah kami di RW 01 diubah namanya jadi Dago Elos, lalu dimasukkan ke dalam proses hukum yang *tidak kami ketahui dan tidak kami akui.”
Kesimpulan:
- Bukan konflik antar warga, tapi kolusi oknum dan mafia tanah.
- Modus: saling gugat untuk melegitimasi manipulasi dokumen dan penguasaan tanah.
- Warga Cirapuhan hanya menuntut pengembalian hak atas tanah mereka yang diakui sejarah dan dihuni turun-temurun.
apakah ini konflik antar warga Dago Elos dan Kampung Cirapuhan:
---
๐งพ Klarifikasi Versi Kampung Cirapuhan: Bukan Konflik Antar Warga, tapi Manipulasi oleh Oknum dan Jaringan Mafia Tanah
Pertanyaan yang sering muncul adalah:
“Apakah sengketa ini perebutan lahan antara warga Kampung Cirapuhan dan warga Dago Elos?”
Jawabannya: Tidak.
Ini bukan konflik antar sesama warga, melainkan persoalan manipulasi wilayah dan dokumen oleh oknum yang bekerja sama dengan pihak luar, menggunakan nama Dago Elos RW 02 untuk menguasai lahan Kampung Cirapuhan RW 01.
---
๐ Penjelasan Teknis Wilayah:
- RW 02 Dago Elos luasnya sekitar 1,9 hektar (19.000 m²), identik dengan verponding 3740 dan 3741.
- Kampung Cirapuhan RW 01, khususnya RT 07, terdampak sengketa seluas ±5 hektar, sesuai klaim verponding 3742 (4,4 ha) dan 6467 (0,6 ha).
- Objek 2,2 hektar yang disebut dalam laporan Dishub juga mencakup ±3.000 m² wilayah RT 07 RW 01.
---
⚠️ Masalahnya: Manipulasi dan Rekayasa
- Sejumlah oknum yang sebelumnya tinggal di Cirapuhan lalu pindah ke RW 02 mendirikan jaringan manipulatif:
- Menerbitkan SHM (80 m², 270 m², 868 m², 15.000 m²)
Tanah Dago: Bukan Konflik, Tapi Manipulasi Terstruktur
Oleh: Komunitas Adat Kampung Cirapuhan RW 01
Banyak yang bertanya:
Apakah ini konflik antara polisi dan warga?
Apakah ini konflik antara penggugat Muller dan masyarakat?
Apakah ini konflik antara ulama dan jamaah?
Apakah ini konflik antara TNI dan warga?
Apakah ini konflik antara pemerintah dan rakyat?
Atau konflik antara pengusaha dan warga?
Jawabannya: Tidak.
Yang terjadi di tanah Dago bukan konflik biasa. Ini adalah manipulasi terstruktur yang melibatkan intimidasi, penghalangan hak, dan rekayasa hukum yang rapi. Ini bukan pertarungan antar kelompok, melainkan operasi sistematis yang dijalankan oleh jaringan mafia tanah dengan dukungan oknum dari berbagai lapisan.
Jaringan ini mengajak:
- Oknum warga yang pernah tinggal di Cirapuhan lalu pindah ke RW 02
- Oknum ulama yang dijadikan legitimasi moral
- Oknum aparatur negara yang seharusnya netral
- Oknum pengusaha dan spekulan yang mengincar lahan strategis
- Oknum praktisi hukum yang paham celah aturan
- Ormas dan LSM yang dijadikan tameng sosial
- Preman dan lembaga bantuan yang telah disuap atau dibayar
Mereka menciptakan kekacauan yang tampak seperti konflik horizontal, padahal yang terjadi adalah rekayasa vertikal. Gugatan Muller CS hanyalah pion. Ia diperankan sebagai antagonis dalam kasus perdata, lalu dijadikan terpidana dalam kasus pidana—semua untuk menyelamatkan otak jaringan mafia tanah yang justru berada di posisi tergugat, atau bahkan belum masuk persidangan sama sekali.
Modusnya jelas:
- Mengubah riwayat sejarah tanah
- Mengubah lokasi objek sengketa
- Mengubah nama daerah dan pihak-pihak dalam dokumen
- Mengatur kesepakatan palsu
- Menyisipkan istilah “wakaf” sebagai kedok suap
- Menerbitkan SHM dengan luas berbeda-beda untuk memperkuat klaim
Mereka tahu aturan. Mereka tahu riwayat. Dan mereka tahu bagaimana memanfaatkan kelemahan sistem hukum untuk menguasai tanah yang bukan milik mereka.
Maka, jika muncul benturan antara warga, aparat, atau tokoh agama, itu bukan konflik murni. Itu adalah konsekuensi dari manipulasi yang dirancang untuk memecah belah dan mengaburkan kebenaran.
Kami, masyarakat Kampung Cirapuhan RW 01, tidak sedang melawan sesama warga. Kami sedang melawan sistem yang telah dimanipulasi. Kami tidak menolak hukum. Kami menolak hukum yang dijadikan alat oleh mereka yang mengubah riwayat demi keuntungan pribadi.
---
Bukan Konflik, Tapi Manipulasi Terstruktur
Oleh: Muhammad Basuki Yaman
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan RW 01
Banyak pihak bertanya:
Apakah ini konflik antara polisi dan warga?
Apakah ini konflik antara penggugat Muller dan masyarakat?
Apakah ini konflik antara ulama dan jamaah?
Apakah ini konflik antara TNI dan warga?
Apakah ini konflik antara pemerintah dan rakyat?
Atau konflik antara pengusaha dan warga?
Jawabannya: Tidak.
Yang terjadi di tanah Dago bukan konflik biasa. Ini adalah manipulasi terstruktur yang melibatkan intimidasi, penghalangan hak, dan rekayasa hukum yang sistematis. Ini bukan pertarungan antar kelompok, melainkan operasi yang dijalankan oleh jaringan mafia tanah dengan dukungan oknum dari berbagai lapisan.
Jaringan ini melibatkan:
- Oknum warga yang berpindah dari Kampung Cirapuhan ke RW 02
- Oknum ulama yang dijadikan legitimasi moral
- Oknum aparatur negara yang seharusnya netral
- Oknum pengusaha dan spekulan yang mengincar lahan strategis
- Oknum praktisi hukum yang paham celah aturan
- Ormas dan LSM yang dijadikan tameng sosial
- Preman dan lembaga bantuan yang telah disuap atau dibayar
Gugatan Muller CS hanyalah pion. Ia diperankan sebagai antagonis dalam kasus perdata, lalu dijadikan terpidana dalam kasus pidana—semua untuk menyelamatkan otak jaringan mafia tanah yang justru berada di posisi tergugat, atau bahkan belum masuk persidangan sama sekali.
Modusnya meliputi:
- Mengubah riwayat sejarah tanah
- Mengubah lokasi objek sengketa
- Mengubah nama daerah dan pihak-pihak dalam dokumen
- Mengatur kesepakatan palsu
- Menyisipkan istilah “wakaf” sebagai kedok suap
- Menerbitkan SHM dengan luas berbeda-beda untuk memperkuat klaim
Mereka tahu aturan. Mereka tahu riwayat. Dan mereka tahu bagaimana memanfaatkan kelemahan sistem hukum untuk menguasai tanah yang bukan milik mereka.
Maka, jika muncul benturan antara warga, aparat, atau tokoh agama, itu bukan konflik murni. Itu adalah konsekuensi dari manipulasi yang dirancang untuk memecah belah dan mengaburkan kebenaran.
Kami, masyarakat Kampung Cirapuhan RW 01, tidak sedang melawan sesama warga. Kami sedang melawan sistem yang telah dimanipulasi. Kami tidak menolak hukum. Kami menolak hukum yang dijadikan alat oleh mereka yang mengubah riwayat demi keuntungan pribadi.
Kami mohon kepada negara untuk hadir secara adil, berpihak pada kebenaran, dan menghentikan praktik manipulatif yang telah merusak tatanan sosial, budaya, dan hukum di wilayah kami.
Hormat kami,
Muhammad Basuki Yaman
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan RW 01
[17.43, 7/9/2025] ChatGPT: jawaban tegas dan sistematis dari pertanyaan publik tentang sifat konflik Tanah Dago (versi Kampung Cirapuhan):
---
❌ Ini Bukan Konflik Biasa, Tapi Manipulasi Terstruktur!
Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul:
- Apakah ini konflik Polisi vs Warga?
Bukan.
- Apakah ini konflik Muller vs Warga?
Bukan.
- Apakah ini konflik antara Ulama vs Jamaah?
Bukan.
- Apakah ini konflik TNI vs Warga?
Bukan.
- Apakah ini konflik Pemerintah vs Warga?
Bukan.
- Apakah ini konflik Pengusaha vs Warga?
Juga bukan.
---
๐ฏ Penjelasan Sebenarnya:
Yang terjadi adalah manipulasi yang sangat terstruktur, melibatkan:
- Oknum warga
- Oknum aparatur negara dan aparat keamanan
- Oknum ulama dan ormas
- Oknum pengusaha & spekulan tanah
- Oknum LSM dan lembaga bantuan hukum bayaran
- Oknum praktisi hukum dan mafia dokumentasi
Dengan modus:
- Mengubah lokasi & nama wilayah
- Mengubah kesepakatan sejarah
- Mengganti nama pihak-pihak dalam dokumen hukum
- Menggunakan intimidasi, suap, dan manipulasi data
---
๐ณ️ Skema “Rekayasa Saling Gugat”:
- Gugatan Muller cs hanyalah panggung sandiwara.
- Muller diperankan sebagai “musuh” agar jadi terpidana,
tapi tujuan sebenarnya: melindungi otak mafia tanah yang ada di balik pihak tergugat.
- Muller hanya pion, sementara dalang utama belum tersentuh proses hukum.
- Skema ini memperalat proses perdata dan pidana untuk melegalkan penguasaan tanah hasil manipulasi.
---
๐งญ Kesimpulan Tegas dari Warga Kampung Cirapuhan:
Konflik tanah Dago ini adalah:
> “Sebuah manipulasi terstruktur yang melibatkan banyak oknum dan dilakukan secara sistematis, dengan niat jelas: merebut ruang hidup warga Kampung Cirapuhan melalui skenario hukum yang direkayasa.”
Bukan konflik biasa. Bukan konflik sektoral. Ini adalah operasi mafia tanah.
Ini bukan konflik polisi vs warga, bukan konflik ulama vs jamaah, bukan konflik TNI vs warga, bukan konflik pengusaha vs warga, atau bukan pemerintah vs warga secara murni.
Yang terjadi adalah manipulasi terstruktur oleh jaringan mafia tanah yang melibatkan berbagai oknum: oknum warga, oknum ulama, oknum aparat, oknum pengusaha, oknum LSM, oknum ormas, bahkan oknum aparat hukum dan oknum lembaga bantuan. Mereka berkolusi, intimidasi, dan menghalang-halangi hak warga dengan modus saling gugat dan manipulasi dokumen, termasuk lewat gugatan Muller cs yang cuma pion kecil di kasus ini.
Jadi konflik sebenarnya soal mafia tanah yang pakai segala cara agar bisa kuasai lahan secara ilegal, bikin kondisi jadi kacau dan berdampak ke warga asli di Dago Elos.
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan, Muhammad Basuki Yaman:
---
๐ฐ Tanah Dago: Bukan Konflik, Tapi Manipulasi Terstruktur
Oleh: Muhammad Basuki Yaman
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan RW 01
Banyak pihak bertanya:
Apakah ini konflik antara polisi dan warga?
Apakah ini konflik antara penggugat Muller dan masyarakat?
Apakah ini konflik antara ulama dan jamaah?
Apakah ini konflik antara TNI dan warga?
Apakah ini konflik antara pemerintah dan rakyat?
Atau konflik antara pengusaha dan warga?
Jawabannya: Tidak.
Yang terjadi di tanah Dago bukan konflik biasa. Ini adalah manipulasi terstruktur yang melibatkan intimidasi, penghalangan hak, dan rekayasa hukum yang sistematis. Ini bukan pertarungan antar kelompok, melainkan operasi yang dijalankan oleh jaringan mafia tanah dengan dukungan oknum dari berbagai lapisan.
Jaringan ini melibatkan:
- Oknum warga yang berpindah dari Kampung Cirapuhan ke RW 02
- Oknum ulama yang dijadikan legitimasi moral
- Oknum aparatur negara yang seharusnya netral
- Oknum pengusaha dan spekulan yang mengincar lahan strategis
- Oknum praktisi hukum yang paham celah aturan
- Ormas dan LSM yang dijadikan tameng sosial
- Preman dan lembaga bantuan yang telah disuap atau dibayar
Gugatan Muller CS hanyalah pion. Ia diperankan sebagai antagonis dalam kasus perdata, lalu dijadikan terpidana dalam kasus pidana—semua untuk menyelamatkan otak jaringan mafia tanah yang justru berada di posisi tergugat, atau bahkan belum masuk persidangan sama sekali.
Modusnya meliputi:
- Mengubah riwayat sejarah tanah
- Mengubah lokasi objek sengketa
- Mengubah nama daerah dan pihak-pihak dalam dokumen
- Mengatur kesepakatan palsu
- Menyisipkan istilah “wakaf” sebagai kedok suap
- Menerbitkan SHM dengan luas berbeda-beda untuk memperkuat klaim
Mereka tahu aturan. Mereka tahu riwayat. Dan mereka tahu bagaimana memanfaatkan kelemahan sistem hukum untuk menguasai tanah yang bukan milik mereka.
Maka, jika muncul benturan antara warga, aparat, atau tokoh agama, itu bukan konflik murni. Itu adalah konsekuensi dari manipulasi yang dirancang untuk memecah belah dan mengaburkan kebenaran.
Kami, masyarakat Kampung Cirapuhan RW 01, tidak sedang melawan sesama warga. Kami sedang melawan sistem yang telah dimanipulasi. Kami tidak menolak hukum. Kami menolak hukum yang dijadikan alat oleh mereka yang mengubah riwayat demi keuntungan pribadi.
Kami mohon kepada negara untuk hadir secara adil, berpihak pada kebenaran, dan menghentikan praktik manipulatif yang telah merusak tatanan sosial, budaya, dan hukum di wilayah kami.
Hormat kami,
Muhammad Basuki Yaman
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan RW 01
Di tengah sorotan media tentang penyelamatan aset triliunan rupiah dalam kasus tanah Dago Elos⁽¹⁾⁽²⁾⁽³⁾, Anda mengingatkan kita bahwa nilai sejati dari keadilan bukan diukur dari angka besar, melainkan dari hak-hak kecil yang selama ini terabaikan.
Mari saya bantu rangkum dalam bentuk narasi publik yang kuat dan menyentuh hati:
---
๐ฐ Jangan Dulu Bicara Triliunan: Selamatkan Dulu Pion-Pion Keadilan
Oleh: Muhammad Basuki Yaman
Koordinator Pertanahan Kampung Cirapuhan RW 01
Ketika media ramai memberitakan bahwa negara telah menyelamatkan Rp 3,6 triliun dari kasus mafia tanah Dago Elos⁽¹⁾, kami masyarakat kecil hanya bisa mengangguk pelan. Bukan karena tidak bersyukur, tapi karena kami tahu: bagi rakyat kecil, puluhan juta saja sudah sangat berarti. Ratusan juta bisa menyekolahkan anak, membangun rumah, atau menyambung hidup. Miliaran rupiah? Itu angka yang bahkan tak pernah kami pegang.
Maka kami katakan: jangan dulu bicara triliunan. Jangan dulu bicara tanah 6,3 hektar, 6,9 hektar, 10 hektar, atau 30 hektar. Mari kita bicara dulu tentang 80 meter, 270 meter, 868 meter —tanah kecil yang menjadi tempat tinggal, tempat berdoa, tempat bermain anak-anak kami. Tanah yang menjadi saksi hidup kami.
Ibarat permainan catur, jangan hanya menyelamatkan raja dan menteri. Permainan belum selesai. Kita harus selamatkan pion-pion, benteng, dan kuda —karena dari sanalah kekuatan sebenarnya muncul. Jika pion-pion dibiarkan hancur, maka raja pun bisa kalah.
Begitu pula dalam kasus tanah ini. Jangan hanya bangga menyelamatkan angka besar. Selamatkan dulu hak-hak kecil yang selama ini diinjak oleh manipulasi, intimidasi, dan penghalangan sistematis. Karena dari sana, keadilan sejati bisa tumbuh.
Kami bukan menolak penyelamatan triliunan. Kami hanya ingin memastikan bahwa yang kecil tidak dilupakan, bahwa yang lemah tidak dikorbankan, dan bahwa keadilan tidak hanya milik mereka yang punya kuasa.
[18.01, 7/9/2025] ChatGPT:
๐ฃ️ “Jangan Dulu Bicara Triliunan Rupiah”
Hari ini kita dengar, katanya telah diselamatkan tanah triliunan rupiah dalam kasus Dago.
Tapi saya ingin tegaskan:
Jangan dulu bicara triliun.
Bagi rakyat kecil, puluhan juta saja sudah setara dengan seluruh hidup mereka.
Ratusan juta, atau bahkan satu miliar, itu seperti langit dan bumi—bahkan banyak yang belum pernah memegang uang segitu.
Maka, jangan langsung bicara 6 hektar atau 30 hektar.
Mari kita bicara dulu soal:
- 80 meter
- 270 meter
- 868 meter
- Hingga jadi 1 hektar dan 1,5 hektar...
Itulah nyawa warga.
Itulah ruang hidup kami.
Itulah tempat kami tumbuh, bertani, beribadah, dan dimakamkan.
Lalu baru kita bicara 6,3 hektar, 6,9 hektar, 10 hektar, hingga 30 hektar.
---
♟️ Ibarat main catur:
Jangan merasa menang hanya karena sudah selamatkan “Raja” atau “Menteri”.
Karena permainan belum selesai.
Pion-pion, benteng, kuda—itulah rakyat.
Kalau pion dibiarkan dimakan satu per satu,
jangan salahkan kalau akhirnya Raja juga jatuh.
Itu artinya: Negara kalah.
Itu artinya: kita semua kalah.
**๐ฏ Maka hari ini kami tegaskan:
Jangan dulu bicara angka besar untuk cari pujian,
sementara hak-hak kecil rakyat terus diinjak dan dimanipulasi.**
Keadilan itu dimulai dari hal kecil—dan dari sana, barulah kita bisa bicara keadilan yang besar.
jangan cuma fokus ke angka triliunan ya.
1. Buat rakyat kecil, tanah kecil kayak 80 m², 270 m², 868 m² itu sangat berarti, bahkan saat dijumlah bisa jadi 1-1,5 hektar.
2. Nah, baru setelah urusan tanah kecil selamat, kita bisa bicara tanah besar 6,3 hektar, 10 hektar, sampai 30 hektar.
3. Sama kayak main catur, jangan cuma selamatkan raja (tanah besar), tapi juga pion-pion kecil supaya lawan gak bisa menang.
Komentar
Posting Komentar